Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Hafshah binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ke-3 H. Ketika itu, Sayyidah Hafshah berusia 21 tahun, meskipun ada riwayat lain yang menyebutkan usia 18 atau 20 tahun. Ia adalah seorang janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, seorang sahabat yang telah memeluk Islam sejak masa awal. Khunais pernah dua kali melakukan hijrah, yaitu ke Habasyah (Ethiopia) dan ke Madinah, sebelum wafat akibat luka parah yang dideritanya dalam Perang Uhud.
Setelah Khunais meninggal, Sayyidah Hafshah kembali ke rumah ayahnya, Umar bin Khattab. Keberadaan Hafshah di rumah Umar menambah beban berat bagi sang ayah, yang pada saat itu sedang mengalami kesulitan ekonomi. Secara sosial, Umar juga merasakan kesedihan melihat putrinya hidup menjanda.
Mengetahui kondisi tersebut, Nabi Muhammad memutuskan untuk melamar Sayyidah Hafshah. Dalam beberapa karya yang membahas kehidupan Nabi Muhammad, disebutkan bahwa alasan Nabi menikahi Hafshah adalah untuk memperhatikan keluarga sahabatnya, baik Umar bin Khattab maupun Khunais yang telah gugur di medan perang.
Nabi Muhammad menyadari peran besar Umar bin Khattab dalam menegakkan panji-panji Islam di masa-masa awal. Umar sering kali mempertaruhkan jiwa dan raganya demi tegaknya ajaran Islam. Selain itu, dengan masuknya Umar sebagai pengikut, Islam semakin mendapatkan martabat.
Namun, Nabi Muhammad tidak segera mengungkapkan niatnya untuk menikahi Hafshah kepada orang lain, termasuk kepada Umar bin Khattab, kecuali kepada Abu Bakar as-Shiddiq. Nabi menyimpan rencana tersebut selama beberapa waktu sambil menunggu momen yang tepat untuk mengumumkannya.
Umar yang merasa terjepit kemudian mendatangi Abu Bakar, berharap sahabatnya itu bersedia menikahi Hafshah. Namun, Abu Bakar hanya diam sebagai tanda menolak dengan halus. Selanjutnya, Umar menemui Utsman bin Affan, tetapi Utsman meminta waktu untuk mempertimbangkan tawaran tersebut dan akhirnya menyatakan bahwa ia tidak ingin menikah saat itu.
Akhirnya, Umar mendatangi Nabi Muhammad untuk menceritakan kondisinya yang sulit. Nabi merasakan penderitaan Umar dan sambil tersenyum, beliau mengatakan bahwa “Hafshah akan dinikahi orang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman akan menikahi orang yang lebih baik dari Hafshah.” Mendengar perkataan tersebut, Umar merasa lega meski tidak diungkapkan secara langsung. Dia kemudian pulang untuk memberitahu kabar gembira itu kepada istri dan anak-anaknya.
Sayyidah Hafshah dikenal sebagai sosok yang pandai membaca dan menulis, kemampuan yang langka pada zamannya, bahkan di kalangan laki-laki. Oleh karena itu, Allah menetapkannya sebagai penulis pertama dan satu-satunya naskah Al-Qur’an di bawah pengawasan langsung Nabi Muhammad. Sayyidah Hafshah pun dijuluki ‘Penjaga Al-Qur’an.’
Dia menuliskan naskah Al-Qur’an pada berbagai media seperti batu, tulang, kulit, papan, dan pelepah kurma. Naskah Hafshah tersimpan dengan baik hingga suatu ketika terjadi upaya pengodifikasian Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Naskah tersebut kemudian diminta dan Zaid bin Tsabit yang ditugaskan untuk mengonfrontasi hafalan para sahabat dengan naskah Hafshah.
Hasil dari pengodifikasian ini dituangkan dalam lembaran kulit dan disusun berdasarkan urutan turunnya wahyu kepada Nabi. Sementara naskah Hafshah dihancurkan dan ia diberi naskah baru yang sudah disusun oleh Zaid dengan lebih rapi. Naskah ini kemudian ‘disempurnakan’ pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan menjadi naskah resmi Al-Qur’an.
Sayyidah Hafshah juga dikenal sebagai sosok yang berani berbeda pendapat, bahkan dengan Nabi Muhammad. Suatu ketika, ia tidak setuju dengan pernyataan Nabi mengenai para sahabat yang mengikuti Perjanjian Hudaibiyah tidak akan masuk neraka. Hafshah menyitir QS. Maryam ayat 71: “Tidak seorang di antara kamu kecuali akan melewatinya.”
Nabi Muhammad kemudian menjelaskan pemahamannya dengan membacakan ayat berikutnya (QS. Maryam ayat 72): “Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.”
Dengan demikian, Sayyidah Hafshah bukan hanya menjadi istri Nabi Muhammad tetapi juga memiliki peran penting dalam sejarah Islam melalui kemampuannya dalam menulis dan pengawasan Al-Qur’an.