- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kedamaian dalam Keyakinan

Google Search Widget

Dalam sebuah riwayat yang menarik, KH Nasaruddin Umar mengungkapkan peristiwa setelah perang ketika seorang musuh berusaha memasuki wilayah prajurit Muslim. Usama ibn Zaid, yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi dan masih muda, menangkapnya. Musuh tersebut terjebak di tebing dan jurang tanpa jalan keluar, lalu tiba-tiba meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Meskipun terkejut, Usamah dan pasukannya tidak ingin terjebak dalam strategi musuh dan akhirnya Usamah membunuhnya.

Salah seorang sahabat melaporkan tindakan Usamah kepada Nabi Muhammad. Nabi pun marah mendengar bahwa Usamah telah membunuh seseorang yang sudah bersyahadat. Ketika dipanggil dan ditanya, Usamah menjelaskan bahwa ia mencurigai syahadat musuh tersebut hanyalah sebuah taktik. Ia khawatir musuh itu masih membawa senjata yang dapat membahayakan pasukan Muslim.

Mendengar penjelasan Usamah, Nabi Muhammad menyampaikan sabda yang menegaskan pentingnya tidak memvonis keyakinan orang lain: “Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang mengetahui apa yang tersimpan di hati.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa saling mengafirkan di antara umat Islam adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Fenomena ini berkembang di kalangan umat, bahkan kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan.

Jika seseorang telah mempersaksikan syahadat secara terbuka, umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Ini bukan berarti umat Islam boleh mengusik orang yang masih kafir. Prinsip menghargai keyakinan orang lain tetap harus diterapkan, dengan berperilaku baik dan berdakwah dengan cara yang positif. Jika ada pelanggaran lain, biarlah hukum formal yang menyelesaikannya.

Usamah pun meminta maaf kepada Rasulullah dan berjanji akan lebih berhati-hati di masa depan, karena tindakan eksekusi dapat berdampak pada keluarga dekat pelaku.

Dalam riwayat lain, KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha juga menceritakan mengenai seorang A’robiy yang bersikap buruk terhadap Rasulullah setelah menerima sedikit uang dari Nabi. Para sahabat hendak mengadili A’robiy tersebut, namun Nabi memanggilnya kembali dan memberinya lebih banyak hingga ia merasa puas. Rasulullah kemudian mengumumkan kepada para sahabat bahwa A’robiy itu sudah merasa puas.

Seandainya para sahabat membunuh A’robiy dalam keadaan benci kepada Nabi, maka ia bisa terjerumus ke dalam neraka. Namun setelah diberikan kepuasan, A’robiy justru berbalik mencintai Nabi. Menurut Gus Baha, mencintai Nabi meski dengan alasan materi pun diperbolehkan dalam Islam.

Dari kedua riwayat ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa menghargai keyakinan orang lain dan menghindari vonis terhadap keimanan seseorang adalah hal yang sangat penting dalam membangun kedamaian di antara umat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

June 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?