Kenaikan harga bahan pokok saat ini telah menjadi perhatian utama dan berdampak signifikan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat. Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan penting mengenai aksesibilitas terhadap kebutuhan dasar.
Kenaikan harga sebagai tantangan ekonomi adalah fenomena yang telah ada sepanjang sejarah, termasuk dalam konteks peradaban Islam. Berbagai tokoh dari berbagai sudut pandang keilmuan dan keahlian memandang fenomena ini dengan beragam sikap.
Salah satu tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Ibrahim bin Adham. Beliau adalah seorang sufi yang terkenal dalam sejarah Islam, hidup pada abad ke-8 dan merupakan penguasa di Balkh sebelum meninggalkan tahta untuk menjalani kehidupan sebagai seorang sufi.
Ibrahim bin Adham dikenal karena kesederhanaan, kezuhudan, dan dedikasinya dalam mencari kebenaran spiritual. Kisah hidupnya sering dijadikan teladan dalam literatur sufi sebagai gambaran tentang meninggalkan duniawi demi mencari Allah dan memahami makna kehidupan sejati.
Meskipun berasal dari keluarga kerajaan, Ibrahim bin Adham memilih untuk hidup dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan kemewahan dunia. Ia juga dikenal sebagai sosok yang berhati-hati dalam mencari sumber penghidupan, berusaha keras untuk mendapatkan makanan dari hasil kerja sendiri dan menjauhi yang haram atau syubhat.
Suatu ketika, Khalaf bin Tamim bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Sejak kapan kamu tinggal di wilayah Syam?” Ibrahim menjawab, “Sejak umur 24 tahun, dan aku tidak memilih Syam sebagai tempat tinggalku melainkan hanya untuk mencari sepotong roti yang halal.”
Ibrahim bin Adham sering ditanya mengenai berbagai fenomena dan peristiwa, termasuk soal kenaikan harga daging. Dalam Ar-Risalah, Al-Qusyairi mencatat bahwa ketika diberitahu bahwa harga daging telah melonjak, Ibrahim menjawab, “Ya sudah, jangan dibeli, biarkan saja.” Ia melanjutkan dengan sebuah syair yang menekankan bahwa jika suatu barang melonjak harganya, maka tidak perlu dibeli sehingga barang tersebut menjadi ‘yang paling murah’ dibandingkan dengan barang lainnya.
Sikap Ibrahim bin Adham mencerminkan prinsip zuhud dalam menghadapi fenomena kenaikan harga. Sebagai seorang sufi yang menekankan kehidupan sederhana, ia tidak merasa perlu pusing dengan harga daging yang naik pada saat itu. Respons singkatnya serta syair yang diucapkannya menunjukkan bahwa dengan meninggalkannya, barang tersebut secara otomatis menjadi kurang diminati.
Sikap ini mungkin relevan bagi mereka yang mengutamakan gaya hidup minimalis atau anti pemborosan. Namun, relevansi sikap tersebut juga dapat dipertanyakan tergantung pada konteks dan kondisi ekonomi masyarakat. Dalam situasi di mana kenaikan harga barang pokok memberikan dampak signifikan terhadap kebutuhan sehari-hari, sikap ini mungkin sulit diadopsi.
Beberapa orang lebih memilih solusi praktis untuk mengatasi tantangan ekonomi, seperti mencari alternatif yang lebih terjangkau atau mencari solusi bersama dalam masyarakat. Meskipun sikap Ibrahim bin Adham mungkin dianggap tidak realistis oleh banyak orang, ia tetap dapat dilihat sebagai tindakan alternatif dalam kondisi tertentu, terutama saat tidak berada dalam situasi mendesak terhadap barang yang sedang melonjak harganya.
Sikap sufi abad ke-8 ini juga dapat merefleksikan sikap individu dalam masyarakat. Sementara itu, pemerintah harus lebih sigap menemukan solusi dan menentukan kebijakan yang tepat terkait kenaikan harga yang sedang terjadi saat ini.