Kehidupan manusia modern di abad ini mengalami kemajuan yang luar biasa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, bersamaan dengan kemajuan tersebut, manusia modern sering kali kehilangan jati diri, tidak memahami arah dan tujuan sebenarnya mengapa mereka diciptakan dan dilahirkan di dunia ini.
Berbagai masalah sosial muncul di era modern, seperti bergesernya nilai-nilai kemanusiaan yang semakin individualis, hedonis, dan materialistis. Terkait dengan krisis nilai ini, Islam mengingatkan tentang “sangkan paraning dumadi,” yang berarti memahami dari mana manusia diciptakan, untuk berbuat apa, dan ke mana mereka akan kembali.
Allah SWT dengan tegas menyatakan dalam Al-Qur’an:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Ad-Dzariyat: 56).
Syekh Abul Abbas Ahmad bin Yusuf Asy-Syaibani Al-Kawasyi dalam kitab Tafsir Kabir menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan makhluk dan tidak mengutus para Rasul tanpa tujuan yang jelas. Semua diciptakan untuk tujuan mulia, yaitu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Lebih lanjut dalam ayat berikutnya, Allah menegaskan:
مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
Artinya, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.” (QS Ad-Dzariyat: 57).
Manusia tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya atau sekadar bersenang-senang. Sangat jelas bahwa tujuan manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk menyembah Allah SWT. Oleh karena itu, manusia wajib bersungguh-sungguh dalam beribadah, karena dunia hanyalah tempat sementara yang tidak kekal.
Allah menjelaskan bagaimana kehidupan dunia ini bisa berubah dan hilang dengan sangat cepat melalui firman-Nya:
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya, “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah ibarat air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah karenanya macam-macam tanaman bumi yang dapat dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, terhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, datanglah kepada mereka azab Kami pada waktu malam atau siang. Lalu, Kami jadikan tanaman mereka seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang berpikir.” (QS Yunus: 24).
Imam An-Nawawi dalam mukadimah Kitab Riyadhus Shalihin mengutip syair Arab yang menyatakan:
اِنَّ لِلهِ عِبَادًا فُطَانَا # طَلَقُوْا الدُّنْيَا وَخَافُوْا الْفِتَنَا نَظَرُوْا فِيْهَا فَلَمَّا عَلِمُوْا # اَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا جَعَلُوْهَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوْا # صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيْهَا سُفُنَا
Artinya, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba cerdas, mereka meninggalkan dunia dan takut akan fitnahnya. Ketika mereka melihat dan mengetahui bahwa dunia bukanlah tempat hidup abadi, maka mereka menjadikan dunia bagaikan lautan, dan amal-amal saleh sebagai perahu layarnya.”
Syair ini menggambarkan hakikat kehidupan di dunia yang hanya sementara. Sebagai hamba yang cerdas, mereka menjadikan dunia ibarat lautan samudera dengan amal saleh sebagai kapal menuju kehidupan abadi di akhirat.
Rasulullah (SAW) pernah berpesan kepada sahabat Abdullah bin Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرْ رضي الله عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ.
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra: ‘Rasulullah (SAW) memegang kedua pundakku seraya berpesan: ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau pengembara.’” (HR Al-Bukhari).
Dari penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa hakikat kehidupan dunia hanyalah sementara. Seperti musafir yang berhenti sejenak di bawah rindangnya pohon sebelum melanjutkan perjalanan.
Sudah semestinya kita kembali merajut amal-amal saleh, baik amal sosial maupun amal spiritual, agar krisis nilai seperti sifat individualis, hedonis, dan materialistis dalam kehidupan modern dapat diminimalisir. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang senantiasa beribadah dan beramal saleh, serta mampu mengarungi lautan dunia dengan selamat.