Kasih sayang, atau rahmat, adalah sifat yang melekat pada Allah subhanahu wa ta’ala dan juga terdapat pada seluruh makhluk-Nya. Semua ciptaan tidak terlepas dari rahmat itu sendiri, termasuk keburukan yang diciptakan Allah dengan kasih sayang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa di setiap keburukan yang ada di jagat ini pasti terdapat kebaikan di dalamnya. Dengan demikian, kasih sayang menjadi bahan dasar penciptaan seluruh makhluk Tuhan.
Namun, kualitas kasih sayang Sang Pencipta tidak dapat disamakan dengan kasih sayang yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Meskipun manusia memiliki kemampuan untuk mengasihi seperti Tuhan-Nya, kualitas kasih sayangnya jauh berbeda. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia, kita mengawali sifat Allah dengan kata “Maha”.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perbedaan antara kasih sayang Allah dan manusia, penting untuk memahami terlebih dahulu pengertian rahmat. Rahmat adalah sifat yang menjadi akar dari segala bentuk kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat. Tidak ada kemaslahatan yang lepas dari sifat kasih sayang ini. Kata rahmat merupakan dasar dari istilah ar-rahman dan ar-rahim yang berarti Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Kedua istilah tersebut muncul dari kata yang mengandung makna kasih sayang, sehingga konsep dasar ar-Rahman dan ar-Rahim mengikuti makna tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Maqshidul Atsna fi Syarhi Ma’ani Asmaillah al-Husna, kasih sayang memerlukan objek agar dapat diwujudkan. Artinya, kasih sayang harus terwujud dalam bentuk aksi nyata dan tidak hanya sekadar simpati atau empati yang tidak disertai tindakan. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh al-Ghazali harus terwujud dalam sikap yang rahmatan lil ‘alamin seperti misi kerasulan Nabi Muhammad (SAW).
Terdapat dua syarat utama agar seseorang dapat disebut sebagai penebar kasih sayang (ar-rahim) menurut al-Ghazali. Pertama, individu tersebut harus memiliki perhatian terhadap hamba yang membutuhkan dan berniat untuk membantu. Jika seseorang secara tidak sengaja membantu tanpa adanya niat dan perhatian, maka ia tidak dapat disebut sebagai penebar kasih sayang. Kedua, individu tersebut harus mampu memberikan bantuan dan menyalurkan kemampuannya tersebut. Jika seseorang memiliki kemampuan tetapi tidak mengaplikasikannya, maka ia pun tidak dapat menyandang gelar penebar kasih sayang.
Dari sini, kasih sayang manusia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Kasih Sayang Sempurna (rahmat tammat): Ketika seseorang secara sengaja memenuhi hajat hamba yang membutuhkan dengan motivasi yang besar.
- Kasih Sayang Merata (rahmat ‘ammat): Kasih sayang yang diberikan tanpa pandang bulu, baik kepada yang berhak maupun tidak.
- Kasih Sayang Terbatas (rahmat naqishat): Ketika seseorang memiliki keinginan besar untuk membantu tetapi terhalang oleh keterbatasan kemampuan.
Berbeda dengan kasih sayang Allah, yang termasuk dalam kategori rahmat tammat dan ‘ammat. Kasih sayang-Nya tersebar secara sempurna dan tanpa pandang bulu kepada semua makhluk, baik yang berhak maupun tidak.
Imam al-Ghazali juga menyebut Allah sebagai ar-rahim al-muthlaq (Sang Penebar Kasih Sayang Sejati). Kasih sayang Allah sempurna dan merata, di mana Dia memang bertujuan untuk memenuhi setiap kebutuhan hamba-Nya tanpa memandang siapa pun. Semua makhluk merasakan kasih sayang-Nya baik di dunia maupun akhirat.
Menariknya, klasifikasi kasih sayang manusia di atas bukanlah sesuatu yang tetap. Ada individu-individu dengan kualitas spiritual tinggi yang mampu mencapai kategori keempat, yaitu tammat dan ‘ammat, meskipun dalam batas kemanusiaan mereka. Individu-individu ini sering kali disebut sebagai manusia universal.