Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Al-Madani Az-Zuhri, lebih dikenal sebagai Ibnu Syihab Az-Zuhri (wafat 123 H), merupakan seorang ulama yang sangat terkenal dalam bidang keilmuan, khususnya ilmu hadits. Ia adalah guru bagi Imam Malik bin Anas, Imam Al-Laitsi, Imam Ibnu Abi Dzi’ib, serta banyak imam lainnya dari generasi tabi’it tabi’in. Imam Az-Zuhri dijuluki al-imâm Al-‘âlim (imam yang berilmu). Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan:
الزهري أحسن الناس حديثا، وأجود الناس إسنادا
Artinya, “Az-Zuhri adalah orang terbaik dalam hadits dan orang terbaik dalam isnad (transmisi hadits).” (Ad-Dzahabi, Siyar A’lâmin Nubalâ’, [Beirut, Muassasah Ar-Risalah: 2001], juz V, halaman 336).
Ibnu Syihab Az-Zuhri dikenal sebagai hâfidh zamânihi, yaitu orang yang hafal banyak hadits beserta jalur periwayatannya. Untuk mencapai posisi tersebut, ia harus berjuang keras dalam belajar. Terdapat dua aspek penting dalam proses belajarnya.
Pertama, Imam Az-Zuhri memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, berkhidmah kepada para ahli ilmu, dan memuliakan mereka. Ia belajar bersama Sayyidina Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 94 H), seorang mahaguru para tabi’in, selama delapan tahun. Sayyidina Sa’id meriwayatkan hadits dari Sayyidina Zaid bin Tsabit, Sayyidah ‘Aisyah, Sayidina Abdullah bin ‘Abbas, dan sahabat-sahabat Nabi (SAW) lainnya. Ia juga merupakan menantu Sayyidina Abu Hurairah dan orang yang paling memahami hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abu Hurairah (Ad-Dzahabi, Siyar, juz IV, halaman 219).
Imam Az-Zuhri menyatakan:
مست ركبتي ركبة سعيد بن المسيب ثماني سنين
Artinya, “Lututku menyentuh lutut (Sayyidina) Sa’id bin Al-Musayyab selama delapan tahun.” (Imam Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Imam Az-Zuhri belajar langsung dari Sayyidina Sa’id bin Al-Musayyab (talaqqi), hingga lutut mereka saling bersentuhan. Hal ini juga mencerminkan kedekatan dan keakrabannya dengan gurunya. Ia belajar tanpa henti selama delapan tahun.
Selain itu, ia memiliki kecenderungan untuk melayani para ulama. Ia tidak keberatan meskipun pelayanannya tidak diketahui oleh orang lain, termasuk oleh ulama yang dilayaninya. Imam Az-Zuhri mengungkapkan:
كنت أخدم عبيد الله بن عبد الله، حتى إن كنت أستقي له الماء المالح، وكان يقول لجاريته من بالباب؟
Artinya, “Aku biasa melayani (Imam) ‘Ubaidillah bin Abdullah, bahkan sampai mengambilkan air asin untuknya, dan ia biasa bertanya kepada pelayannya, ‘siapakah yang di depan pintu?’” (Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333).
Imam Az-Zuhri memahami bahwa keridhaan guru atau orang alim membawa keberkahan. Keberkahan inilah yang menjadikan ilmunya tidak hanya sekadar hafalan di hati dan catatan di atas kertas, tetapi juga menjadi amalan yang disebarluaskan. Tak heran jika kemudian hari Imam Az-Zuhri melahirkan banyak murid-murid yang luar biasa. Ia menjadi penanda zaman bersama dengan murid-muridnya. Dari ajarannya, mata rantai (sanad) keilmuan terus bertumbuh dan berkembang hingga kini.
Kedua, Imam Az-Zuhri selalu mencatat semua pelajaran yang didapat dan didengarnya. Beberapa riwayat menjelaskan bahwa ia sering ditertawakan oleh teman-temannya karena membawa suhuf (lembaran) dan alwâh (papan untuk menulis). Salah satu riwayat menyebutkan:
عن أبي الزناد، قال: كنت أطوف أنا والزهري ومعه الألواح والصحف فكنا نضحك به
Artinya, “Dari Abu Zanad, ia berkata: ‘Aku berkeliling bersama Az-Zuhri, dan ia membawa papan dan lembaran untuk mencatat, lalu kami menertawakannya.’” (Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333).
Riwayat ini diceritakan oleh seorang ahli fiqih dan hadits yang diakui kealimannya, Abu Zanad Abdullah bin Dzakwan (wafat 130 H), yang merupakan guru dari Imam Malik, Imam Al-Laitsi, Imam Sufyan At-Tsauri, dan lainnya. Cerita ini menunjukkan ketekunan Imam Az-Zuhri melebihi teman-temannya; bahkan saat berkeliling pun ia tetap membawa lembaran untuk mencatat. Ia selalu siap menerima ilmu kapan pun dan di mana pun berada.
Imam Abu Zanad Abdullah bin Dzakwan pernah berkata kepada anaknya:
كنا نكتب الحلال والحرام، وكان ابن شهاب يكتب كلما سمع، فلما احتيج إليه، علمت أنه أعلم الناس
Artinya, “Kami biasa hanya menulis yang halal dan yang haram. Namun Ibnu Syihab menulis semua yang didengarnya tanpa terkecuali. Ketika kami membutuhkannya, aku tahu bahwa Ibnu Syihab adalah orang paling berilmu.” (Ad-Dzahabi, Siyar, juz V, halaman 333).
Imam Az-Zuhri mencatat semua pelajaran tanpa memilih mana yang penting dan mana yang tidak. Hal ini membuat Imam Abu Zanad mengakui bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri adalah orang paling alim di kalangan manusia. Namun perlu dicatat bahwa kebiasaan mencatat Imam Az-Zuhri bukanlah karena hafalannya yang lemah. Ia terkenal memiliki hafalan yang sangat tajam. Imam Ibnu al-Mulaqqin mencatat dalam bukunya:
ومن حفظ الزهري أنه حفظ القرآن في ثمانين ليلة
Artinya, “(Salah satu bukti kuatnya) hafalan Az-Zuhri adalah ia menghafal Al-Qur’an dalam waktu delapan puluh malam.” (Imam Ibnu Mulaqqin, Al-I’lâm bi Fawâid ‘Umdatil Ahkâm, [Riyadh, Darul ‘Ashamah], juz VIII, halaman 381).
Meskipun demikian, ia tetap mencatat setiap pelajaran yang diperoleh sebagai bentuk kehati-hatian. Sebab secerdas apapun manusia, kemungkinan untuk lupa selalu ada. Imam Az-Zuhri yang dikenal cerdas dan mampu menghafal Al-Qur’an dalam waktu delapan puluh malam tetap mencatat dan mempelajari catatannya. Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjaga ilmu. Ia pernah mengatakan:
ما استودعت قلبي شيئاً قط فنسيته
Artinya, “Aku tidak pernah mempercayakan hatiku dengan sesuatu yang mungkin aku lupakan.” (Ibnu Mulaqqin, Al-I’lâm, juz VIII, halaman 381).
Kemungkinan lupa itulah yang dijaganya. Dengan memiliki catatan tentang ilmu tersebut, ia dapat melakukan langkah-langkah pengamanan. Hafalannya yang kuat dijaga oleh catatannya dan catatannya yang lengkap dijaga oleh hafalannya. Inilah cara Imam Az-Zuhri dalam belajar dan menuntut ilmu—sebuah teladan yang patut dicontoh.