Secara umum, ulama membagi kezaliman menjadi dua kategori: kezaliman terhadap diri sendiri dan kezaliman terhadap sesama manusia atau makhluk. Baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, setiap perbuatan dosa pada hakikatnya adalah perbuatan zalim.
Dari segi berat dan tidaknya serta kemungkinan diampuninya, kezaliman terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, kezaliman yang tidak akan diampuni Allah; kedua, kezaliman yang akan diampuni Allah; dan ketiga, kezaliman yang ditangguhkan oleh Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Anas bin Malik dalam kitab Irsyadul-Ibad.
Kezaliman yang tidak diampuni Allah adalah kesyirikan atau menyekutukan Allah, kecuali jika pelakunya bertobat. Sementara itu, kezaliman yang akan diampuni Allah adalah kezaliman seorang hamba terhadap dirinya akibat kemaksiatan terhadap Tuhannya. Sedangkan kezaliman yang ditangguhkan Allah adalah kezaliman hamba terhadap hamba yang lain, yang akan menjadi utang di akhirat jika tidak diselesaikan di dunia.
Kezaliman kepada sesama manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh azh-Zhahabi dalam kitab al-Kabair, memiliki tiga bentuk: pertama, kezaliman berupa memakan harta atau hak orang lain secara batil; kedua, kezaliman berupa membunuh, memukul, melukai, atau menyakiti secara fisik; dan ketiga, kezaliman berupa menghina, mencela, mengutuk, menuduh tanpa bukti, dan sejenisnya.
Larangan terhadap ketiga bentuk kezaliman tersebut telah ditegaskan dalam Al-Quran: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali dengan perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu.” Dalam konteks ini, bangkrut berarti amal-amal kebaikan seseorang habis dipasrahkan kepada orang-orang yang telah dizaliminya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Hurairah.
Rasulullah (SAW) bersabda bahwa orang yang bangkrut di kalangan umatnya adalah mereka yang datang pada hari kiamat membawa puasa, shalat, dan zakat, tetapi juga telah mencela kehormatan orang lain dan mengambil harta mereka. Ia akan didudukkan dan dipotong kebaikan-kebaikannya oleh orang-orang yang dizaliminya. Jika kebaikan-kebaikannya habis sebelum membayar semua kesalahan-kesalahannya, maka kesalahan-kesalahan mereka akan ditimpakan kepadanya hingga ia dijatuhkan ke dalam neraka.
Balasan bagi pelaku kezaliman juga dapat berupa hukuman sejenis dengan bentuk kezalimannya. Dalam hadits riwayat Ahmad disebutkan bahwa seseorang yang mengambil satu jengkal tanah di dunia akan diminta untuk menggali tanah tersebut sampai tujuh lapis bumi di akhirat.
Selain itu, pelaku kezaliman juga terancam doa buruk dari orang yang terzalimi. Orang yang terzalimi termasuk dalam tiga kelompok yang mustajab doanya, meskipun ia adalah seorang penjahat atau bukan Muslim. Rasulullah (SAW) memperingatkan agar kita takut terhadap doa orang yang terzalimi karena doa mereka akan cepat terkabul.
Selain doa orang terzalimi, dua kelompok lain yang mustajab doanya adalah doa orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan doa kedua orang tua terhadap anak-anak mereka.
Di padang mahsyar, tuntutan dan persidangan akan dilakukan. Ahli neraka tidak akan masuk neraka dan ahli surga tidak akan masuk surga sebelum mereka bebas dari segala utang, kezaliman, dan hak-hak orang lain. Seorang penghuni neraka tidak akan masuk neraka selama ia masih memiliki hak pada ahli surga, dan sebaliknya.
Pada hari itu, akan disampaikan kepada mereka bahwa siapa pun yang masih memiliki hak harus datang kepada pemiliknya. Pada saat itu, hubungan nasab tidak lagi berarti; meskipun semasa di dunia saling mengenal, pada hari itu mereka tidak lagi saling sapa.
Setiap dosa yang dikehendaki akan diampuni oleh Allah, sedangkan dosa yang tidak dikehendaki akan ditunda hingga perkaranya diputuskan. Di sana tidak ada seorang pun yang dizalimi. Semua hak akan diberikan kepada pemiliknya dengan adil. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran: “Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang orang-orang zalim perbuat. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari ketika mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim [14]: 43).