Pahala haji memiliki nilai yang sangat besar. Orang yang melaksanakan ibadah haji dengan benar layak menerima imbalan surga. Dalam riwayat Bukhari, Muslim, At-Turmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah, Rasulullah (SAW) menyebutkan bahwa orang yang berhaji dengan ikhlas akan diampuni dosanya seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.
Namun, beberapa ulama menyatakan bahwa ada amal saleh yang lebih utama dari pahala ibadah haji yang luar biasa tersebut. Fudhail bin Iyadh mengatakan bahwa kesalehan sosial, seperti kejujuran dalam takaran atau timbangan selama transaksi, memiliki ganjaran dua kali lipat dari pahala ibadah haji dan 20 kali lipat dari pahala ibadah umrah.
Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali menceritakan bagaimana Fudhail bin Iyadh (RA) mengapresiasi anaknya yang jujur dalam menakar atau menimbang. Fudhail menyaksikan anaknya sedang membersihkan sekeping dinar agar bobot takarannya tidak bertambah karena karat. Ia berkata, “Nak, apa yang kaulakukan lebih utama daripada pahala dua kali ibadah haji dan 20 kali ibadah umrah.”
Kejujuran dalam timbangan mendapat perhatian besar dalam Islam. Kejujuran ini membangun kepercayaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi dan membawa keuntungan bagi semua pihak. Sebaliknya, Al-Qur’an memperingatkan kita untuk menjauhi sikap tidak jujur dalam timbangan atau takaran. Bahkan ada surat khusus dalam Al-Qur’an yang menyoroti tindakan curang, yaitu Surat Al-Muthafifin.
Artinya: “Celaka besar bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar?” (Surat Al-Muthafifin ayat 1-5).
Surat Al-Muthafifin mengecam keras tindakan curang dalam takaran atau timbangan dan menunjukkan betapa mulianya ajaran Islam mengenai kesalehan dalam muamalah. Islam sangat menghargai kejujuran dalam aspek ini.
Rasulullah (SAW) juga pernah menyebutkan amal saleh yang setara dengan pahala ibadah haji dan umrah. Dalam hadits riwayat Abu Dawud, beliau menyatakan bahwa siapa saja yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat fardhu akan diberikan pahala seperti ibadah haji. Sementara itu, orang yang keluar rumah untuk mengerjakan shalat dhuha tanpa tujuan lain akan diberikan pahala umrah.
Dalam riwayat lain, Rasulullah (SAW) menyebut kegiatan belajar dan mengajar kebaikan sebagai amal saleh yang setara dengan ibadah haji. Siapa yang berangkat ke masjid hanya untuk mempelajari atau mengajarkan kebaikan akan diberikan pahala seperti pahala ibadah haji yang sempurna.
Semua penjelasan ini bukan dimaksudkan untuk mengecilkan nilai atau menggugurkan kewajiban ibadah haji dan umrah. Sebaliknya, keterangan-keterangan tersebut bertujuan untuk mengapresiasi amal kesalehan sosial berupa kejujuran dalam timbangan atau takaran yang seharusnya dijaga dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari muamalah.