Beberapa waktu lalu, sejarah Jaka Tingkir kembali menjadi perbincangan hangat. Selain nasab dan tokoh-tokoh yang diyakini sebagai keturunannya, makam Jaka Tingkir juga menuai kontroversi. Hingga saat ini, terdapat tiga makam yang masyhur diyakini sebagai makamnya. Versi resmi dari Kraton Catur Sagotrah menyatakan bahwa Jaka Tingkir dimakamkan di desa Butuh, Sragen, bersama dengan ayahnya, Ki Kebo Kenanga. Namun, ada pula versi yang menyebutkan bahwa makamnya telah dipindahkan ke Kotagedhe atas perintah Panembahan Senopati, yang ingin mengambil berkah dari keberadaan makam ayah angkatnya. Di sisi lain, ada juga makam yang diyakini berada di Pringgoboyo, Lamongan, berdasarkan cerita Gus Dur.
Kontroversi makam Jaka Tingkir tidak berdiri sendiri. Banyak makam yang diyakini sebagai makam anaknya, Pangeran Benowo, di antaranya di desa Butuh, yang satu komplek dengan ayahanda, serta di Demak, Jombang, dan Kendal. Tak hanya itu, tokoh-tokoh lain seperti Sunan Bonang, Arya Penangsang, dan Syekh Jumadil Kubro juga memiliki banyak makam yang diyakini oleh masyarakat.
Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan bagi orang yang hendak berziarah: mana makam yang asli? Bagaimana jika kita berziarah tetapi keliru dalam identifikasi? Masalah ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Mesir, terdapat beberapa ulama dan keturunan Rasulullah (SAW) yang juga memiliki banyak makam.
Syekh Mukmin bin Hasan Mukmin, dalam kitab Nurul Abshar, menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa perbedaan pemakaman sebagian ahli bait di Kairo Mesir, yang semuanya diziarahi, tidak perlu dipermasalahkan. Beliau mengatakan, “Ketahuilah, perbedaan pemakaman sebagian ahli bait di Kairo Mesir yang semuanya diziarahi, tidak perlu dipermasalahkan. Karena nur yang ada di pusara mereka menunjukkan bahwa mereka ada di tempat-tempat tersebut.”
Lebih lanjut, Syekh Mukmin mengutip Syekh Ali al-Khawash, yang menyatakan bahwa pintu barzakh itu seperti ombak yang dimasuki oleh seseorang. Orang tersebut akan tenggelam dan kemudian mengambang di tempat lain, sebagaimana yang terjadi pada Sayyidi Ahmad bin ar-Rifa’i dan Sayyidah Nafisah. Ketika sangkakala ditiup di hari kiamat, jenazah akan dibangkitkan dari tempat penguburannya semula. Hal ini mengisyaratkan bahwa keberkahan dan kehadiran seorang wali tidak selalu terkait dengan lokasi pemakamannya, tetapi bisa jadi juga terdapat di petilasannya.
Sebagaimana informasi yang disampaikan Imam as-Sya’rani, ada dua lokasi yang sering diziarahi terkait Sayyidah Nafisah: makamnya dan petilasan tempatnya beribadah. Hal serupa juga berlaku bagi Imam Ahmad bin ar-Rifai, yang memiliki dua makam yang sering diziarahi. Oleh karena itu, sebagian ulama menyatakan bahwa hal ini sangat tergantung pada niat baik dari peziarah. Meskipun kita mungkin berziarah di makam yang tidak tepat, bacaan Al-Qur’an, dzikir, tawasul, dan doa tetap sampai kepada wali di manapun jenazahnya dimakamkan. Dengan demikian, tidak perlu diributkan mengenai lokasi makam yang tepat. Wallahu a’lam.