Ilmu, ibadah, dan kezuhudan merupakan elemen penting dalam kehidupan beragama. Namun, pencapaian dalam ketiga aspek tersebut dapat menjauhkan seseorang dari Allah jika tidak disertai dengan kerendahan hati. Sikap tinggi hati yang muncul karena merasa cukup dengan ilmu, ibadah, dan kezuhudan dapat berdampak negatif pada spiritualitas seseorang. Merasa sebagai pemegang kebenaran tunggal dapat menghalangi seseorang dari tujuan sebenarnya dari ilmu, ibadah, dan kezuhudan itu sendiri.
Sebagian ahli makrifat mengungkapkan bahwa orang yang paling tebal hijabnya adalah kalangan ulama, diikuti oleh ahli ibadah dan orang-orang yang zuhud. Mereka cenderung merasa puas dengan ilmu, ibadah, dan kezuhudan yang dimiliki. Hal ini diungkapkan oleh Syekh Ibnu Ajibah Al-Hasani, yang menjelaskan bahwa dorongan atau obsesi (hawa) terbagi menjadi dua, yaitu hawa nafsu yang berkaitan dengan syahwat jasmani, dan hawal qalbi yang berkaitan dengan syahwat rohani. Hawa nafsu berhubungan dengan kesenangan fisik, sementara hawal qalbi berkaitan dengan kesenangan akan pangkat, kekuasaan, pujian, dan keistimewaan.
Ibnu Ajibah menyatakan bahwa syahwat yang dimiliki oleh kalangan ulama, ahli ibadah, dan orang-orang zuhud sering kali tersembunyi. Mereka merasa telah berbuat baik, padahal Allah dapat menyesatkan mereka melalui pengetahuan yang mereka miliki. Ulama-ulama zahir seringkali meyakini bahwa tidak ada yang lebih utama di atas ilmu mereka, dan menganggap maqam ihsan sebagai maqam tertinggi yang mereka capai. Sementara itu, ahli ibadah dan orang-orang zuhud merasa bahwa aktivitas mereka merupakan puncak cinta dan ketaatan kepada Allah. Namun, kenyataannya, keramat-keramat lahiriyah tersebut justru menambah jarak mereka dari Allah.
Orang awam yang tidak memiliki ambisi spiritual yang tinggi justru lebih dekat kepada Allah dalam ketaatan mereka yang hakiki. Dalam sebuah hadits, Rasulullah (SAW) menyebutkan bahwa kebanyakan penduduk surga adalah kalangan al-bulhu, yaitu orang-orang awam yang tidak terjerat oleh syahwat qalbi. Menurut Ibnu Ajibah, syahwat rohani lebih sulit diobati dibandingkan syahwat jasmani. Ia mengilustrasikan hal ini dengan kisah Nabi Adam dan Iblis. Nabi Adam terjebak dalam syahwat jasmani, sedangkan Iblis terjerumus dalam syahwat qalbi berupa kesombongan. Akibatnya, Iblis dijauhkan dari rahmat Allah hingga hari kiamat.
Kalangan ulama, ahli ibadah, dan orang-orang zuhud harus waspada terhadap syahwat qalbi yang dapat menjauhkan mereka dari Allah. Jika mereka tidak menjaga jarak dan mewaspadai hawa nafsu mereka, bisa jadi mereka terjebak dalam tipu daya spiritual yang membuat hijab mereka semakin tebal. Namun, penting untuk dicatat bahwa Ibnu Ajibah tidak bermaksud menganjurkan untuk berhenti menuntut ilmu, beribadah, atau melepas kezuhudan. Syarah Al-Hikam Ibnu Ajibah ini bertujuan untuk mengingatkan kita akan bahaya syahwat spiritual yang dapat menghinggapi kelompok ini agar lebih waspada. Wallahu a’lam.