Islam mengajarkan pentingnya berbuat baik kepada diri sendiri dan sesama, menciptakan kohesivitas sosial di tengah masyarakat yang beragam. Keragaman ini mencakup perbedaan bahasa, suku, keyakinan, warna kulit, kultur, kesenian, hingga preferensi politik. Dalam konteks ini, Islam tidak melarang umatnya untuk berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda, termasuk mereka yang berbeda keyakinan.
Allah SWT dalam Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang-orang yang tidak agresif dan tidak memusuhinya. Dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8, dinyatakan bahwa Allah tidak melarang umat-Nya untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi mereka dalam urusan agama dan tidak mengusir mereka dari kampung halaman, karena Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil.
Sejarah menunjukkan bahwa umat Islam pada masa awal telah berinteraksi dengan baik dengan non-Muslim. Contohnya, Rasulullah (SAW) pernah menyewa Abdullah bin Uraiqith, seorang musyrik, sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah. Beliau juga meminjam kapak dari sekelompok Yahudi untuk kepentingan perang, dan mengizinkan Shafwan bin Umayyah, yang tetap berpegang pada keyakinan musyriknya, untuk bergabung dalam barisan pasukan umat Islam pada perang Hunain.
Islam mengajarkan pentingnya saling menghargai keyakinan orang lain. Hal ini tercermin dalam Piagam Madinah yang menjamin hak umat beragama untuk menjalankan ajaran sesuai keyakinan masing-masing. Surat Al-Kafirun juga menegaskan perbedaan keyakinan antara umat Islam dan non-Muslim, serta mengajak untuk saling menghargai ajaran agama lain dan tidak menyinggung masalah agama orang lain, demi menjaga kerukunan dalam masyarakat.
Dengan demikian, Islam mendorong kerukunan dalam berbagai bentuk interaksi sosial, baik antara sesama umat Islam maupun dengan non-Muslim, sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dan damai. Wallahu a’lam.