Dalam Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin, terdapat hadits yang mengingatkan kita akan pentingnya memahami kematian, yang berbunyi: “Kalau saja kalian mengetahui apa yang kuketahui (tentang kematian), pastilah kalian tak banyak tertawa dan lebih sering menangis.” Hadits ini sejalan dengan hadits riwayat Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan, “Bekerjalah untuk duniamu seolah akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok hari.” Kedua hadits ini mengingatkan kita akan rendahnya nilai dunia dibandingkan dengan akhirat.
Masyarakat sering kali memahami hadits ini dengan cara yang keliru, yaitu beranggapan bahwa kita harus mengumpulkan sebanyak mungkin harta duniawi. Namun, menurut Imam Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, pemahaman yang benar adalah bahwa kita harus memprioritaskan bekal untuk akhirat. Kita seharusnya tidak terjebak dalam gemerlap dunia, karena kematian bisa datang kapan saja.
Hadits ini memberikan pesan penting tentang kezuhudan. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad (SAW) mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam angan-angan kehidupan dunia yang bersifat sementara. Sebagaimana sabda beliau, “Cukuplah kematian sebagai penasihat terbaik kita.”
Imam Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Bisyr Ibnu al-A’rabi al-Bashri dalam kitabnya menggambarkan dunia sebagai tempat singgah, di mana kita hanya menumpang sejenak. Pandangan ini menunjukkan bahwa dunia tidak lebih dari sekadar persinggahan, sementara kehidupan abadi menanti di akhirat.
Dalam membahas tema kezuhudan, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali mengemukakan tiga tingkatan zuhud. Tingkatan pertama adalah melawan nafsu terhadap keinginan duniawi. Tingkatan kedua adalah memilih yang lebih berharga dari sisi ukhrawi. Sedangkan tingkatan tertinggi adalah memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak berharga dibandingkan dengan nilai-nilai spiritual.
Imam Wahib al-Makki dalam karyanya menyatakan bahwa zuhud berarti tidak merasa kehilangan saat kehilangan harta dunia dan tidak berlebihan dalam kegembiraan saat mendapatkannya. Semoga kita mampu menyeimbangkan antara duniawi dan ukhrawi, serta menjadikan kematian sebagai pengingat untuk senantiasa berbuat baik dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.