Akhir-akhir ini, umat Muslim diselimuti kesedihan akibat wafatnya beberapa ulama terkemuka. Rentang waktu yang singkat antara satu kepergian dengan yang lainnya membuat air mata kesedihan tak kunjung kering. Kematian adalah hal yang pasti bagi setiap manusia, dan tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali Allah (SWT). Ketika ajal tiba, tidak ada yang dapat menundanya, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 49.

Wafatnya seorang ulama bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga merupakan tanda bahwa ilmu di bumi ini perlahan-lahan dicabut. Hal ini berpotensi menghasilkan figur-figur yang mengaku sebagai ulama tanpa memiliki pengetahuan yang memadai, yang sering disebut sebagai “ngustadz.” Fenomena ini berbahaya karena mereka bisa menyesatkan umat, seperti yang tercantum dalam hadis yang menjelaskan bahwa Allah (SWT) tidak mencabut ilmu secara langsung, tetapi melalui wafatnya para ulama.

Duka ini dirasakan tidak hanya oleh manusia, tetapi juga oleh makhluk lain. Imam Al-Ghazali dalam karyanya menyebutkan bahwa ikan di lautan dan burung di udara turut berduka ketika seorang ulama wafat. Meskipun jasad mereka tiada, kenangan akan ilmu dan bimbingan mereka akan terus hidup di hati umat.

Kehilangan para ulama adalah musibah besar bagi umat Islam, tetapi diharapkan akan lahir generasi penerus yang dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan. Imam Ghazali mengutip Imam Ali bin Abi Thalib (RA) bahwa setiap kali seorang ulama wafat, akan ada lubang dalam Islam yang hanya dapat ditutupi oleh generasi penerusnya.

Pepatah Arab juga mengingatkan kita bahwa manisnya pertemuan akan diikuti oleh pahitnya perpisahan. Ketika kita merasakan kehadiran para ulama yang memberikan ilmu dan bimbingan, kita sering kali tidak menyadari betapa berharganya momen tersebut hingga mereka tiada. Kepergian mereka meninggalkan duka yang mendalam, namun juga harapan akan lahirnya para pewaris ilmu yang mampu melanjutkan perjuangan mereka.