Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa banyak orang yang keliru menganggap bahwa meninggalkan harta duniawi adalah satu-satunya tanda kezuhudan (zuhud). Sebenarnya, meninggalkan harta dan berpenampilan “buruk” dapat menjadi hal yang mudah bagi mereka yang ingin dipuji sebagai seorang zahid. Kezuhudan berkaitan tidak hanya dengan harta, tetapi juga dengan pangkat dan kewibawaan, serta merupakan cerminan dari sikap batin seseorang.
Imam Al-Ghazali mengemukakan tiga tanda kezuhudan.
Tanda pertama adalah tidak terpengaruh oleh keberadaan atau ketiadaan harta. Dalam Surat Al-Hadid ayat 23, Allah berfirman, “Agar kalian tidak putus asa atas harta yang luput dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian.” Ini menunjukkan bahwa seorang yang zuhud tidak akan merasa bangga ketika memiliki harta dan tidak akan bersedih ketika kehilangan harta.
Tanda kedua adalah tidak terpengaruh oleh pujian atau hinaan. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa bagi orang yang zuhud, baik pujian maupun hinaan memiliki makna yang sama. Menurut Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, orang yang zuhud tidak akan merasa bahagia dengan pujian dan tidak akan merasa kecewa dengan hinaan. Ini menunjukkan bahwa kezuhudan juga berkaitan dengan sikap terhadap pangkat dan kewibawaan.
Tanda ketiga adalah terhibur atau senang dengan Allah SWT. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang yang zuhud akan merasakan kenikmatan dalam ibadah dan hatinya akan dipenuhi dengan cinta kepada Allah. Ia menekankan bahwa cinta dunia dan cinta kepada Allah tidak dapat bersatu dalam satu hati. Ketika seseorang mencintai Allah, maka ia akan lebih terfokus pada-Nya dan tidak terganggu oleh hal-hal duniawi.
Dengan pemahaman ini, kita dapat lebih mendalami makna sejati dari kezuhudan yang tidak hanya berfokus pada aspek lahiriah, tetapi juga pada kedalaman spiritual dan hubungan kita dengan Allah SWT.
