Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa kedekatan antara Allah dan hamba-Nya sangat terasa pada saat sujud. Hal ini didasarkan pada keterangan dalam hadist Nabi Muhammad (SAW) yang diriwayatkan oleh HR Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i. Dalam penjelasannya, Imam Al-Ghazali mengutip Surat Al-Alaq ayat 19 yang berbunyi: وَٱسْجُدْ وَٱقْتَرِب, yang berarti “Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).”
Lebih lanjut, Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa “Momentum terdekat seorang hamba dan Tuhannya adalah ketika sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa saat itu.” Sujud di dalam ibadah merupakan bentuk ketaatan yang paling nyata kepada Allah. Dalam konteks ini, sujud menjadi pembeda antara hamba yang taat (malaikat) dan hamba yang durhaka (Iblis).
Allah membuka kesempatan untuk mendekat kepada hamba-Nya, terutama saat mereka bersujud. Pada saat itu, rahmat-Nya sangat dekat. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang bersujud dan merasakan manisnya sujud akan merasa dekat dengan Allah. Dengan sujudnya, ia seakan melipat jarak alam semesta dan bersujud di atas salah satu sudut keagungan Allah, sehingga ia menjadi dekat dengan-Nya.
Imam Al-Ghazali memaknai sujud sebagai ibadah istimewa yang menghapus “jarak” antara Allah dan hamba-Nya. Ia menganalogikan sujud dengan lorong waktu dan tempat yang mendekatkan keduanya. Keistimewaan sujud juga memberikan makna tersendiri bagi ibadah shalat. Tidak mengherankan jika Rasulullah (SAW) menjadikan shalat sebagai puncak kesenangan dan kebahagiaannya. Shalat menjadi penyambung antara dirinya dan Allah (SWT), momentum munajat, serta jalan untuk mengangkat derajat hamba di hadapan-Nya. Wallahu a’lam.