Di kedalaman misteri Ilahi, sebuah Hadis Qudsi bergema melampaui zaman:
“Anak Adam telah menyakiti-Ku, dia mencela Ad-Dahr (waktu), padahal Aku adalah Ad-Dahr. Di tangan-Ku-lah (urusan) malam dan siang.”
Firman ini adalah kunci pembuka. Tuhan adalah Waktu itu sendiri—bukan manifestasinya dalam bentuk perputaran malam dan siang, melainkan Esensi yang menggenggam keduanya. Dari sini, perjalanan kita dimulai untuk membongkar fondasi pemahaman kita tentang realitas, dimulai dari panggungnya: ruang dan waktu.
Fisika modern, dalam upayanya memetakan kosmos, mengajukan konsep “Expanding Universe”. Namun, di sini tersembunyi sebuah kekonyolan logis. Mengatakan “ruang berkembang” secara inheren menyiratkan adanya ruang di luar ruang untuk ia berkembang. Yang sesungguhnya berkembang bukanlah ruang itu sendiri, melainkan benda-benda di dalam ruang.
Model pemahaman yang jauh lebih kokoh justru telah ditawarkan oleh tradisi Ibrahimiah: ruang yang berlapis-lapis, tak terbatas. Dari sini, mari kita ajukan pertanyaan fundamental yang membawa kita melampaui batas:
- Kapankah waktu tanpa waktu? Jawabannya adalah Sekarang. Inilah Keabadian.
- Di manakah ruang tanpa ruang? Jawabannya adalah Di Sini. Inilah Ketidakterbatasan.
Teori Big Bang—yang menandai mula dari ruang dan waktu—sekaligus memaksakan adanya batas. Namun, bukti kemustahilan batas itu ada di dalam diri kita. Melalui imajinasi, kita bisa melakukan perjalanan tanpa akhir.
Di sinilah fisika sampai pada tepiannya. Ia telah berhasil membawa kita ke titik di mana kita menemukan ketiadaan batas. Perjalanan setelah ini harus ditempuh di luar koridornya: Metafisika. Di titik inilah kita memahami kedalaman ucapan bijaksana Albert Einstein:
“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Karena pengetahuan itu terbatas…”
Pengetahuan yang ia sebut ‘terbatas’ itu, tentu saja, adalah pengetahuan saintifik-materialistik seperti fisika, yang hanya mampu mengukur apa yang tampak dan terindra. Sementara imajinasi, yang ia sebut ‘merangkul seluruh dunia’, adalah gerbang menuju metafisika; ranah di mana hukum-hukumnya lebih kokoh dan abadi.
Dari ranah inilah kita menyimpulkan: Keabadian adalah Sekarang, dan ‘Arsy adalah Di Sini. Kebenaran ini hidup dalam syair: “Engkau berada di langit, walau yang kau pijak adalah bumi.”
Sadarilah, bumi adalah benda langit. Engkau adalah manusia bumi sekaligus manusia langit. Berasal dari Surga, kini engkau berjalan di bumi, namun esensi langit ada di dalam dirimu. Maka, lihatlah cakrawala; di sanalah langit dan bumi tampak bertemu. Lalu lihatlah ke dalam dirimu; di sanalah keduanya sungguh-sungguh bersatu.
Dengarkan versi podcast dari tulisan ini dalam bahasa Inggris, dengan judul: “The Two Horizons”.
Namun, filsafat pun memiliki perhentian. Tugasnya adalah menghantar kita ke gerbang Tuhan. Setelahnya adalah ranah Meta-metafisika: Firman-Nya. Di sinilah evolusi sejati terjadi. Seluruh perjalanan ini, dari kritik atas kosmologi hingga penemuan diri di titik cakrawala, telah termaktub dalam satu ayat pamungkas. Surah Fushshilat, Ayat 53:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa ia adalah Kebenaran. Dan tidakkah cukup bahwa Tuhanmu Maha Menyaksikan atas segala sesuatu?”
Perhatikanlah kata kunci yang dipilih-Nya: fī al-āfāq, “di segenap ufuk”. Kata ufuk adalah sinonim dari cakrawala—garis terjauh yang dapat dipandang mata. Ayat ini menyatakan bahwa Tuhan akan membentangkan tanda-tanda-Nya di dua cakrawala: cakrawala luar (fī al-āfāq), yaitu alam semesta yang maha luas, yang mana bumi termasuk di dalamnya, serta cakrawala dalam (fī anfusihim), yaitu diri lahir dan batin manusia.
Perjalanan sains menjelajahi kosmos adalah perjalanan menuju ufuk terluar. Namun, ayat ini menegaskan bahwa perjalanan itu baru lengkap jika diimbangi dengan perjalanan ke dalam diri. Sebagaimana di cakrawala fisik langit dan bumi bertemu, di cakrawala diri ini pun langit (ruh) dan bumi (jasad) bertemu. Penjelajahan ke dua cakrawala inilah yang akan menyingkap Kebenaran (al-Haqq) yang satu.
Sebagai penutup, renungkanlah hikmah dari Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari:
“Allah memperbolehkanmu untuk melihat apa yang terkandung dalam alam semesta, namun Dia tidak mengizinkanmu berhenti pada wujud fisiknya saja… Dia berfirman, ‘Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yang ada (terkandung) di langit dan di bumi’,’ Dia tidak berfirman, ‘Perhatikanlah langit dan bumi’, agar Dia tidak mengarahkanmu hanya pada keberadaan benda-benda itu semata.”
Kita diajak untuk melihat Makna di balik materi, Sang Waktu di balik perputaran zaman, dan Kebenaran yang sama di cakrawala alam semesta maupun di cakrawala diri kita sendiri.
Wallahu a’lam bish-shawab.
— Aldi
: : : : : : : : :
Video terkait: