Thariqah Naqsyabandiyah
Ketahuilah bahwa Thariqah Naqsyabandiyah merupakan thariqah yang paling dekat dan paling mudah bagi murid untuk mencapai derajat tauhid, meskipun kemampuan penerimaan si murid kurang baik dan tidak memiliki kesiapan yang sempurna untuk meraih derajat tinggi itu. Syaikh yang menjadi guru di dalam thariqah ini akan berupaya melakukan pengaturan pada sang murid dengan menambahkan rasa cinta kepadanya. Karena thariqah ini berpondasi pada pengubahan perilaku (tasharruf) dan pemberian keterpikatan ruhani (jadzbah) yang lebih didahulukan daripada penempuhan jalan ruhani (suluk) dari seorang mursyid yang sudah masuk dalam kategori pewaris Nabi saw. dalam kondisi-kondisi ruhaninya yang khusus (al-ahwal al-khashshah). Dari ahwal yang khusus itu syaikh mursyid mampu memancarkan cahaya-cahaya ketuhanan ke hati para pencari Tuhan Yang Mahabenar (al-Haqq). Bagian terbesar para pengikut sempurna thariqah ini adalah pewarisan kondisi ruhani sang pembenar agung, Abu Bakr r.a. yang menjadi perantara ikatan silsilah ini. Di dalam thariqah ini, pemberian keterpikatan ruhani (jadzbah) lebih didahulukan daripada pemberian suluk, mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah—yakni bid’ah yang buruk yang tidak diridhai Allah Rasul-Nya—dengan pemantapan hati, menjauhi rukhshah, dan mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (takhalla) dan memenuhi diri dengan akhlak-akhlak yang baik dan terpuji (tahalla).
Yang dimaksud rukhshah di sini adalah sesuatu yang semestinya dijauhi oleh pencari Tuhan Yang Mahabenar, seperti terlalu berlebihan menikmati kesenangan-kesenangan yang diperbolehkan, tertawa lepas, senda gurau, tenggelam dalam kelalaian dan terus menerus dalam kondisi kenyang. Bukan hukum-hukum yang disebutkan oleh para ahli fiqih sebagai kemudahan syariat bagi manusia, seperti mengusap sepatu dan tayammum pada saat sakit, serta shalat qasar dan berbuka puasa pada saat berada dalam perjalanan. Sebab, Allah senang engkau mengambil keringanan yang telah diberikan-Nya untukmu sebagaimana dia senang engkau mengambil kemantapan yang telah ditetapkannya untukmu, sebagaimana telah ditegaskan di dalam sabda Rasulullah saw. Perhatikanlah perbedaan tersebut, agar engkau tidak terjerumus dalam kekeliruan.
Di dalam thariqah ini keterpikatan lebih didahulukan daripada penempuhan jalan ruhani. Dan orang yang terpikat lalu menempuh jalan ruhani (al-majdzub as-salik) lebih tinggi derajatnya daripada penempuh jalan ruhani yang kemudian mengalami keterpikatan (as-salik al-majdzub) Keduanya sama-sama mengalami pelintasan jenjang-jenjang spiritual. Namun al-majdzub as-salik memiliki kelebihan, karena dia menyaksikan segala sesuatu dengan Allah. Dan ini tentu lebih tinggi daripada orang yang penyaksian segala sesuau karena Allah (as-salik al-majdzub). Selain itu, as-salik al-majdzub hanya akan berujung pada fana’ (lenyap dalam Allah), sedangkan al-majdzub as-salik akan berujung pada baqa (lestari bersama Allah) dan sadar setelah fana’ (ash-shahwu ba’dal fana’). Dari sini diketahui bahwa titik mula al-majdzub as-salik merupakan ujung perjalanan as-salik al-majdzub. Orang yang mengenakan kondisi ruhani ini (majdzub) tentu akan lebih cepat sampai kepada Allah daripada orang yang mengenakan suluk.
Thariqah ini berbeda dengan thariqah-thariqah lain. Karena di dalam thariqah lain, untuk tahap permulaan si murid akan memasuki pengkhidmatan dan pelatihan-pelatihan yang berat untuk mengendalikan hawa nafsu dan memperoleh penyucian jiwa (tazkiyah). Karena bagi mereka, tazkiyah lebih didahulukan daripada tashfiyah (pembeningan).
Para tokoh terkemuka Thariqah Naqsyabandiyah berkata, “Setelah seorang murid diarahkan pada tashfiyah dan menghadapkan diri kepada al-Haqq dengan penuh kesungguhan, maka dengan bantuan tarikan spiritual dari tarikan-tarikan Allah Yang Mahakasih, dalam waktu yang singkat dia akan memperoleh tazkiyah yang bahkan tidak bisa dicapai orang lain melalui latihan-latihan spiritual selama bertahun-tahun. Karena bagi mereka, keterpikatan ruhani lebih didahulukan daripada suluk, dan suluk mereka seperti lingkaran, tidak memanjang.”
Abu Manshur al-Maturidi r.a. menegaskan, “Panjang pendeknya thariqah ini tidak seperti jarak perjalanan yang harus ditempuh jiwa hingga bisa dilintasi dengan penempuhan langkah kaki sesuai kadar kekuatan jiwa. Thariqah ini merupakan jalan ruhani yang ditempuh oleh hati, maka pelintasannya adalah dengan pikiran-pikiran sesuai kadar keyakinan dan kemampuan mata hatinya. Sumbernya adalah cahaya samawi dan pandangan ilahi yang jatuh di hati hamba, lalu dengan cahaya itu dia melihat hakikat dunia dan akhirat. Seorang hamba mungkin mencarinya selama seratus tahun sambil berteriak-teriak minta tolong dan menangis, namun dia tidak menemukannya, tidak juga mendapatkan jejaknya. Ada pula yang berhasil mendapatkannya dalam waktu enam puluh tahun. Sebagian lagi ada yang mendapatkannya dalam waktu dua puluh tahun, ada yang dalam waktu sepuluh tahun, ada yang dalam waktu satu tahun, ada yang dalam waktu satu bulan, ada yang dalam waktu satu minggu, ada yang dalam waktu satu jam, dan ada pula yang mendapatkannya dalam tempo sekejap, sesuai kadar keyakinan.”
Langkah pertama yang diterapkan oleh para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah adalah adz-dzikr al-qalbi (zikir hati) yang pada thariqah Iain merupakan tingkatan zikir kedua. Sebagian ulama yang sungguh ahli di dalam ilmu lahir dan batin, yang mengomentari al-Hikam Ibn ‘Atha’illah, berkata tentang kata-kata beliau: Janganlah engkau meninggalkan dzikir hanya karena ketidakhadiran bersama Allah Ta’ala di dalam dzikirmu itu, “Hakikat zikir adalah mengusir kelalaian, dan zikir itu memiliki beberapa tingkatan. Tingkat pertama adalah zikir lisan. Zikir lisan ini ada dalilnya dalam Alqur’an dan sunnah. Karena itu, wahai saudaraku, tekunilah zikir lisan hingga engkau bisa sampai dan mendapat kemuliaan zikir dengan hati. Zikir hati di dalam thariqah lain merupakan dzikir tingkatan kedua. Sedangkan bagi para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah, zikir hati merupakan langkah awal. Langkah pertama yang diterapkan para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah adalah zikir hati, namun hal ini hanya dikenal dari mereka. Karena itu, seorang salik tidak akan dapat teguh berada dalam maqam ini selain melalui mereka.”
Asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi berkata, “Permulaan di dalam thariqah kami merupakan penghujung di thariqah-thariqah lain.”
Thariqah Naqsyabandiyah adalah thariqah para sahabat yang tetap kokoh berada pada pangkalnya tanpa ditambah dan dikurangi. Thanqah ini adalah formulasi ibadah lahir batin yang terus menerus. Semua orang bisa mengikutinya dan semua orang bisa mengambil manfaatnya, orang tua maupun anak-anak, yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena itu, tujulah mereka serta ciumlah keharuman mereka. Mudah-mudahan engkau beruntung mendapati salah seorang di antara mereka, mendapatkan mutiara yang suci ini, dan bisa mencium wewangi thariqah yang belum pernah terbersit di hatimu, sehingga kekacau-balauan lenyap dari dirimu. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari segala kotoran. Khalwat mereka berada dalam jalwat (keramaian), dan jalwat mereka berada dalam khalwat. Bagi mereka, semua perkumpulan menjadi zawiyah (ordo Sufi). Mereka hadir di majelis-majelis, sementara hati mereka hadir bersama Allah dan kosong dari selain Dia. Mereka sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah.” [QS. an-Nur 24:37]
Sumber: Tanwirul Qulub
https://aldifajar.com/pustaka/11289/