- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

7 Tingkatan Nafsu

2 months ago

5 min read
Yang Mulia Abu, Sayyidi Syaikh Abdul Khalik Fajduani (qs)
Foto: Yang Mulia Abu, Sayyidi Syaikh Abdul Khalik Fajduani (qs)

[*] An-nafs‘aqlqalb, ruh, dan sirr adalah nama-nama untuk satu hal, yang lembut, bersifat ketuhanan, bersifat cahaya, disimpan pada objek yang bersifat jasmani dan gelap. Munculnya perbedaan nama disebabkan oleh perbedaan ahwal dan pergeseran kondisi. Misalnya air hujan yang turun ke dasar pohon, kemudian naik ke cabang, lalu itu memunculkan daun, bunga dan kembang selanjutnya memunculkan buah. Pohon itu tumbuh sempurna, air yang menumbuhkannya satu, sedangkan namanya berbeda-beda sesuai dengan kondisinya. Demikian penjelasan as-Sahili di dalam karyanya, al-Bugyah. Menurut Ibn Atha’illah selama ruh pekat dengan maksiat, dosa, keinginan dan aib, ia disebut nafsu. Jika ruh tercegah dan terikat, ia disebut akal. Ruh senantiasa bolak-balik antara lalai dan hadir, karena itu disebut hati (qalb). Jika ruh tenang, tentram dan istirah dari dari letih kemanusiaan, maka disebut ruh. Jika ruh bersih dari kegelapan indera maka ia disebut sirr(rahasia/jiwa) karena keberadaannya menjadi rahasia dari rahasia-rahasia Allah, tepatnya ketika ruh kembali kepada asalnya, yaitu sirral-jabarut (rahasia jabarut).

Oleh karena itu, hendaklah orang yang berakal segera mengusahakan makrifat dengan sungguh-sungguh dan tidak menunda-nunda, agar saat dijemput maut dia dalam keadaan makrifat, tidak menderita ketidaktahuan. Sungguh, bila hati telah buta, tak ada jalan baginya untuk sampai bisa melihat setelah mati. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” [QS. al-Isra’ 17:72]

Ketahuilah bahwa an-nafs adalah lathifah rabbaniyah, yakni ruh sebelum dilekatkan pada tubuh. Allah menciptakan ruh-ruh sebelum menciptakan jasad, dan sebelum dilekatkan pada tubuh, ruh itu berada di sisi-Nya. Ketika ruh itu diperintahkan untuk melekat di tubuh, ia segera mengenali yang lain dan terhijab dari hadirat Allah karena sibuk dengan yang lain. Karena itu ia membutuhkan pengingat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” [QS. adz-Dzariyat 51:55]

An-nafs adalah substansi yang menyinari (menghidupi) badan. Apabila ia menyinari badan lahir dan batin, maka dihasilkan kondisi terjaga. Apabila ia hanya menyinari badan bagian dalam, maka dihasilkan kondisi tidur. Apabila penyinarannya terputus secara total dari badan, maka dihasilkan kondisi mati. 

Biang semua maksiat, kelalaian, syahwat dan syirik adalah keridhaan pada nafs. Perhatikanlah bagaimana Fir’aun ketika benar-benar meridhai dirinya, dia melampaui batas hingga berkata, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.” [QS. an-Nazi’at 79-24]

Pokok semua ketaatan, kesadaran, keterjagaan dan musyahadah adalah ketidakridhaan terhadap nafs. Karena itu tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba selain mendidik nafs-nya. 

Dilihat dari keterpengaruhannya oleh mujahadah (perjuangan ruhani melawan nafs), nafs terdiri dari tujuh tingkatan, yaitu: 

Pertamaan-nafsu al-ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan), yakni jiwa yang cenderung kepada tabiat badaniah, memerintahkan pemenuhan kesenangan-kesenangan dan syahwat yang terlarang menurut syara’, serta menarik-narik hati kepada hal-hal yang hina. An-nafs al-ammarah ini merupakan tempat berbagai keburukan dan sumber akhlak tercela, seperti sombong, tamak, syahwat, dengki, marah, bakhil dan dendam. Tingkatan ini merupakan kondisi umum nafs manusia sebelum mujahadah.

Keduaan-nafs al-lawwamah (jiwa yang mencela), yakni jiwa yang sudah mendapat terang cahaya hati, sehingga kadang menuruti kekuatan akal dan terkadang membangkang, namun setelah membangkang itu ia merasakan penyesalan dan lalu mencela dirinya sendiri. Pada tingkatan ini, jiwa menjadi sumber penyesalan, tempat bermula hasrat nafsu, kelalaian dan ketamakan.

Ketigaan-nafs al-muthmainnah, yakni jiwa yang telah mendapat terang cahaya hati hingga kosong dari sifat-sifatnya yang tercela lalu merasa nyaman dan tenteram terhadap sifat-sifat kesempurnaan. Maqam-nya merupakan tempat bermula kesempurnaan. Jika seorang salik sudah menapakkan kakinya pada maqam ini, dia dianggap sebagai ahli thariqah, karena keberpindahannya dari talwin (keterpilahan dan keberpendaran) kepada tamkin (keberhimpunan dan kemapanan). Orang yang jiwanya sudah berada pada tingkatan ini akan mengalami mabuk ketuhanan. Padanya berhembus angin sepoi ketersambungan. Dia berbicara seperti biasa dengan sesama manusia sementara hatinya jauh dari mereka, karena demikian kuat keterkaitannya kepada Allah Ta’ala.

Keempatan-nafs al-mulhimah (jiwa yang terilhami), yakni jiwa yang telah diberi ilham oleh Allah berupa ilmu, tawadhu’, qana’ah dan sakha’ (kedermawanan). Karenanya dalam tingkatan ini jiwa menjadi pemancar kesabaran, kesanggupan menanggung derita dan rasa syukur.

Kelimaan-nafs ar-radhiyah (jiwa yang ridha), yakni jiwa yang senantiasa ridha kepada Allah Ta’ala, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala, “ …dan mereka pun ridha kepada-Nya.” [QS. al-Bayyin 98:8]. Pada tingkatan ini, jiwa dalam kondisi berserah dan menikmati mabuk kerinduan kepada Allah. Sebagai terungkap dalam sebuah syair:

Tambahi aku mabuk cinta kepada-Mu

Aku sungguh tergila-gila kepada-Mu

Kasihilah hatiku dengan api cinta kepada-Mu

Keenaman-nafs al-mardhiyyah (jiwa yang diridhai Allah), yakni jiwa yang diridhai Allah Ta’âlâ, danjejak ridha-Nya itu muncul pada jiwanya dalam rupa karamah, keikhlasan dan zikir (senantiasa dalam kondisi ingat Allah). Pada tingkatan ini, seorang salik menjejakkan kakinya yang pertama dalam pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) dengan pengenalan sejati. Pada tingkatan ini muncul tajalli af’al (manifestasi perbuatan perbuatan Allah).

Ketujuhan-nafs al-kamilah (jiwa yang sempurna), yakni jiwa yang padanya kesempurnaan telah menjadi tabiat dan watak, dan dalam kesempurnaan ini ia terus mendaki. Lalu ia diperintahkan untuk kembali kepada hamba-hamba Allah, untuk melakukan pembimbingan dan penyempurnaan terhadap mereka. Maqam jiwa yang seperti ini adalah maqam tajalli al-asma’ wa as-sifat (manifestasi nama-nama dan sifat-sifat). Sedangkan hal-nya adalah al-baqa’ billah, berjalan dengan Allah, kepada Allah, kembali dari Allah, dan menuju kepada Allah. Tiada tempat baginya selain Dia, dan ilmu-ilmunya diambil dari Allah. Seperti diungkapkan dalam sebuah syair,

Dan setelah fana dalam Allah, jadilah sebagaimana engkau kehendaki 

Karena ilmumu tiada mengandung kebodohan

pun perbuatanmu tiada mengandung dosa

Ketahuilah, bahwa pendakian dari satu maqam ke maqam selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan bimbingan guru yang makrifat, yang mengetahui maqamat dan ahwal jalan spiritual. Jangan kau kira bahwa penyucian jiwa bisa dengan mudah dilakukan melalui jalan akal seperti diduga oleh para filsuf, kaum empirisme dan kelompok-kelompok lainnya yang menempuh cara penyucian jiwa dengan latihan spiritual yang serampangan, tanpa bimbingan guru yang ‘arif. Sehingga mereka jatuh ke dalam kerusakan, kesamaran dan kesesatan.

Penyucian jiwa seperti pengobatan badan lahir. Orang yang badan fisiknya sakit tidak boleh minum obat selain atas petunjuk dokter yang ahli dan berpengalaman melakukan pengobatan. Demikian pula penyucian jiwa tidak mudah dilakukan kecuali dengan petunjuk dan tuntunan nabi atau wali yang mempunyai keahlian dalam masalah ini.

Ketahuilah bahwa jiwa memiliki banyak hijab yang bersifat cahaya dan hijab yang bersifat kegelapan. Jalan bagi seorang murid untuk sampai pada pembebasan diri dari hijab-hijab tersebut bisa ditempuh dengan memerangi dan menentang nafsu dan keluar dari hasrat nafsu. Sungguh, nafsu merupakan penghalang terbesar antara seorang hamba dan Tuhannya.

Ada banyak ragam mujahadah (perjuangan memerangi nafsu), dan setiap murid mempunyai jalan mujahadah-nya sendiri yang cocok untuk diri masing-masing. Kecocokan model mujahadah bagi setiap murid disesuaikan dengan kadar kemampuannya dan kadar pengenalannya tentang mana yang paling berat, dengan melihat keadaan dirinya, tempo mujahadah-nya serta hal-hal lainnya.

Bagi seorang raja, mujahadah yang berupa puasa dan shalat itu lebih berat daripada mujahadah berupa sedekah atau memerdekaan budak. Sedangkan bagi si miskin dan orang-orang yang rakus justeru sebaliknya. Bagi sejumlah ilmuwan, mujahadah dengan meninggalkan perberdebatan, perselisihan, menampakkan kelebihan dan bersaing di dalam forum, itu lebih berat daripada mujahadah dengan puasa atau shalat. Mujahadah dengan puasa di musim panas tentu lebih berat daripada di musim dingin. Sedangkan mujahadah dengan shalat malam justru lebih berat di musim dingin daripada di musim panas.

Penentuan berbagai jenis mujahadah bagi para murid diserahkan kepada pendapat syaikh yang menjadi pembimbing dan penuntun mereka di jalan spiritual, bukan pada pilihan murid sendiri. Sebab jika pemilihan model mujahadah itu ditentukan oleh murid bisa sangat membahayakan.

Pokok mujahadah adalah penyapihan jiwa dari segala bentuk kesenangannya serta mendorongnya untuk melawan semua keinginan pada keseluruhan waktu. Salah seorang ‘arif berkata, “Kami mengambil tasawuf bukan dari pendapat ini dan itu, tetapi kami mengambilnya dari rasa lapar, meninggalkan dunia, menyapih segala kebiasaan jiwa, menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Seorang syaikh sufi berkata, “Barangsiapa memasuki mazhab kami (yakni jalan tasawuf), hendaklah dia menjadikan empat kematian dalam dirinya. Yakni, kematian merah, kematian hitam, kematian putih dan kematian hijau. Kematian merah adalah melawan hawa nafsu. Kematian hitam adalah menanggung derita menyakitkan yang ditimpakan orang lain kepada dirinya. Kematian putih adalah rasa lapar dan kematian hijau adalah membuang keutamaan yang telah disematkan orang lain kepadanya satu persatu.”

Ibrahim ibn Adham berkata, “Seseorang tidak akan mencapai derajat keshalihan sebelum melampaui enam penderitaan. Pertama, menutup pintu kesenangan dan membuka pintu kesusahan. Kedua, menutup pintu mulia dan membuka pintu hina. Ketiga, menutup pintu istirahat dan membuka pintu lelah. Keempat, menutup pintu tidur dan membuka pintu terjaga. Kelima, menutup pintu kaya dan membuka pintu fakir. Keenam, menutup pintu angan-angan dan membuka pintu bersiap menghadapi kematian.” 

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

Rabithah

Rabithah artinya ikatan atau hubungan, yang berarti proses terjadinya hubungan atau ikatan ruhaniyah antara seorang murid dengan Sang Mursyidnya. Mengikat atau menghubungkan diri dengan Manajemen

Naqsyabandiyah, Religi

Nama Dzat: Allah

Nama Dzat adalah lafazh Allāh. Allah Ta’ālā berfirman, اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah.” (QS. Thaha [20]: 14) Allah Ta’ālā juga berfirman, قُلِ

Naqsyabandiyah, Religi

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?