Sejarah penyebaran Islam di Nusantara memiliki akar yang dalam dan kompleks, terutama pada masa Dinasti Tang di Tiongkok. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada masa Kaisar Wuzetian, sekitar abad pertama Hijriah, telah ada interaksi antara dunia Islam dan wilayah Nusantara. Penelitian yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Baso dalam bukunya “Islamisasi Nusantara” menegaskan bahwa pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, komunitas Muslim sudah mulai terbentuk di pantai Barat dan Timur Sumatera. Dalam catatan Tiongkok, komunitas ini disebut sebagai “tasi”, yang bukan sekadar pedagang Muslim yang mampir, tetapi sudah ada perkampungan Muslim yang dipimpin oleh seorang ulama.
Keberadaan komunitas ini juga didukung oleh surat-surat dari Maharaja Sri Indrawarman kepada Umar bin Abdul Aziz, yang menunjukkan bahwa dia sangat menyadari keberadaan perkampungan Islam. Surat tersebut, yang ditemukan di Oxford dan tercatat dalam karya-karya Ibnu Abdir Rabbih dan Ibnu Tagri Bardi, mencerminkan hubungan diplomatik yang erat antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan dunia Islam.
Setelah Sri Indrawarman memeluk Islam, kekuasaan di Kerajaan Sriwijaya mengalami kudeta oleh Dinasti Sailendra, yang berpengaruh besar terhadap alur sejarah di Nusantara. Dinasti ini didukung oleh Tiongkok, yang merasa kepentingannya terganggu oleh masuknya Islam. Kudeta ini menjadi titik awal dari gelombang pertama penyebaran syiar Islam di Nusantara.
Gelombang kedua penyebaran Islam dipicu oleh para ulama dari Hadramaut yang membawa ajaran Islam ke berbagai daerah. Ulama seperti Sayyid Ahmad Al-Muhajir berperan penting dalam mendirikan kesultanan-kesultanan Islam, termasuk di Ternate dan Tidore. Kesultanan-kesultanan ini sudah ada sebelum berdirinya Samudera Pasai, yang sering dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Penyebaran Islam juga dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi yang muncul akibat Perang Salib dan serangan Mongol. Perdagangan rempah-rempah dari Nusantara menjadi sangat penting bagi dunia Islam saat itu. Para pemimpin Muslim berusaha mengamankan jalur perdagangan, yang pada gilirannya membuka lebih banyak kesempatan untuk dakwah.
Pada abad ke-14 hingga 16, tokoh penting seperti Husin Jamaluddin Akbar, atau Syekh Jumadil Kubro, memainkan peran strategis dalam penyebaran Islam. Ia dikenal sebagai mualim yang berkeliling ke berbagai daerah, termasuk Bangladesh dan Jawa, untuk mengajarkan ajaran Islam. Melalui strategi dakwah yang cerdas dan adaptif, para ulama ini berhasil menarik perhatian masyarakat.
Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama dari Azerbaijan yang tiba di Gresik pada tahun 1402, memiliki pendekatan yang sama dalam dakwah. Ia tidak hanya mengajarkan Islam tetapi juga membantu masyarakat dengan meningkatkan produksi pertanian di tengah krisis pangan. Keberhasilannya dalam menyelesaikan masalah ini membuatnya dihormati dan diakui oleh masyarakat lokal.
Penyebaran Islam terus berlanjut melalui berbagai jalur dan tokoh, termasuk Sunan Ampel dan Sunan Kudus. Mereka menggunakan metode dakwah yang inovatif dan relevan dengan konteks masyarakat saat itu. Misalnya, Sunan Kudus dikenal dengan pendekatan simpatiknya terhadap budaya lokal, yang membuat ajaran Islam lebih mudah diterima.
Secara keseluruhan, sejarah masuknya Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa penyebaran agama ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan politik, tetapi juga oleh peran aktif para ulama dan interaksi antar budaya. Dengan memahami konteks sejarah ini, kita dapat menghargai bagaimana Islam berkembang dan bertahan di tengah keragaman budaya dan tantangan zaman.