(Ditulis oleh Mursyid Penerus Thariqah Qudusiyah)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan semesta alam dan melimpahkan cahaya kepada lelangit dan bumi dengan mengutus para Rasul-Nya untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Shalawat dan salaam dihaturkan kepada junjungan semesta alam, Rasulullah Muhammad saw, yang telah diutus sebagai khataman-nabiyyin untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.
Hakikat dari suatu thariqah adalah jalan pertaubatan kepada Allah SWT, dimana segala ilmu, tahapan perjalanan, dan tujuannya telah ditetapkan Allah SWT di dalam Al-Qur’an, serta telah dicontohkan oleh para Rasul-Nya yang mulia. Pertaubatan merupakan perkara yang diwajibkan Allah SWT bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya, karena suatu pertaubatan adalah proses perjalanan untuk kembali kepada-Nya, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim [66] ayat 8.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [٦٦:٨]
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang nashuha, mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi sayyiah-sayyiahmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman besertanya, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berkata: “Wahai Rabb kami, sempurnakanlah cahaya bagi kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. QS.At-Tahrim [66]:8.
Proses taubat adalah suatu perjalanan menuju Allah SWT, dimana medannya membentang mulai dari kehidupan insan di muka bumi ini hingga ke alam barzakh dan alam akhirat. Proses perjalanan ruhaniyah ini seyogyanya dilakoni oleh setiap insan dengan melibatkan seluruh dimensi keinsanannya yaitu aspek jasad, jiwa, qalb dan ruh secara integral. Jalan kehidupan insan di muka bumi ini menjadi jenjang yang paling menentukan ihwal berat-ringannya perjalanan insan dalam tahapan-tahapan perjalanan selanjutnya.
Kehidupan duniawi digambarkan Allah SWT di dalam Al-Qur’an sebagai samudera raya yang asin rasa airnya. Manusia diperintahkan Allah SWT untuk membangun suatu “jalan kering” di laut, atau sebuah “bahtera” kehidupan yang mampu menjaga manusia agar tidak tenggelam dalam kehidupan duniawi yang gelap dan melalaikan.
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَّا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ [٢٠:٧٧]
Dan sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepada Musa, “Pergilah engkau dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, buatlah bagi mereka jalan kering (thariiqan) di laut itu, engkau tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut”. QS.Thaha [20]:77.
Wujud bahtera ini berupa bangunan agama (ad-diin) yang haq, di mana bangunan ini memiliki tiga pilar utama, masing-masing pilar tersebut tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah Muhammad saw dalam hadits-hadits yang shahih, bahwa ketiga pilar agama ini harus terbangun dengan kokoh di dalam diri seorang mu’min, masing-masing pilar ini adalah al-Iman, al-Islam, dan al-Ihsan. Ketiga aspek agama ini dalam dunia Islam melahirkan tiga dimensi keilmuan pokok yaitu Tauhid, Fiqh, dan Tasawuf. Jika keilmuan fiqh merupakan bagian dari kajian syariah Islam, maka tasawuf merupakan syariah bathiniyah Islam.
Khazanah keilmuan tasawuf terus berkembang dari zaman ke zaman, dimana sumber utama khazanah tasawuf berasal lingkaran thariqah-thariqah, merupakan khazanah ilmu dan hikmah yang keluar dari dada para pejalan Allah (saalik) yang telah mencapai derajat kemuliaan berupa ketaqwaan yang haq (haqqa tuqaatihi). Allah SWT mengajarkan pengetahuan-pengetahuan al-Haq secara langsung melalui qalb para hamba-Nya taqwa.
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ [٢:٢٨٢]
Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarimu. QS.Al-Baqarah [2]:282.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ [٢:٢٦٩]
Allah menganugrahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dianugrahi hikmah maka ia benar-benar telah dianugrahi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang mampu mengambil pelajaran kecuali para ulil albaab. QS.Al-Baqarah [2]:269.
Thariqah adalah suatu jalan yang menuntut para ahlinya untuk berjalan di atasnya. Suatu thariqah yang benar (thariq mustaqim) adalah thariqah yang azas dan tujuannya dilandaskan kepada Al-Qur’an (QS.Al-Ahqaaf [46]:29-30), dan mampu memandu setiap pejalan (saalik) kepada orbitnya masing-masing (shiratal mustaqim). Di dalam Al-Qur’an bentukan dari kalimah thariqa tercatum pada sebelas ayat. Bentuk jamak dari thariqa adalah tharaiq.
Ketika seorang mu’min mampu membangun suatu “bahtera” yang tidak bocor dalam kehidupannya di alam dunia, maka jiwa (nafs) sang mu’min yang telah dirahmati Allah SWT (QS.Yusuf [12]:53) akan diperjalankan (dimi’rajkan) melintasi lapisan-lapisan lelangit ruhaniyah., agar ditampakkan kepadanya kebesaran ayat-ayat-Nya di segenap ufuk semesta alam (QS.Fushilat [41]:53), sehingga bertambah dalamlah sujud dan rasa ubudiyah sang hamba kepada-Nya. Allah SWT telah mengisyaratkan tentang adanya tujuh buah tingkatan jalan (sab’a tharaiq) untuk ditempuh oleh ahlinya masing-masing, dimana eksistensi dari tujuh buah jalan ini disimbolkan di dalam Al-Qur’an oleh tujuh lapis lelangit di atas bumi.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَائِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ الْخَلْقِ غَافِلِينَ [٢٣:١٧]
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (sab’a tharaiq), dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami. QS.Al-Mu’minuun [23]:17.
وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ [١]وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ [٢]النَّجْمُ الثَّاقِبُ [٣]إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ [٨٦:٤]
Demi langit dan ath-thaariq. Tahukah engkau apakah ath-thaariq itu? Yaitu bintang (an-najm) yang menembus. Tidak ada satu jiwa pun melainkan ada penjaganya. QS.Ath-Thaariq [86]:1-4.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [٦:٩٧]
Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang (an-nujuum) bagimu, agar engkau terpandu olehnya di dalam kegelapan di darat dan di laut. Sungguh Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. QS.Al-An’aam [6]:97.
Tujuan sejati dari suatu perjalanan suluk di dalam suatu wadah thariqah adalah agar sang salik menjadi melihat dan memahami fungsi hidupnya, untuk misi apa ia diciptakan Allah SWT di muka bumi ini. Misi hidup seorang insan secara spesifik merupakan manifestasi dari fitrah dirinya, di mana fitrah ini telah tertanam di dalam jiwa (nafs) insan sejak awal penciptaannya (QS.Al-‘Araaf [7]:172), dan fitrah dari setiap insan tidak akan mengalami perubahan sedikit pun.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [٣٠]مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ [٣٠:٣١]
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-diin. Fitrah Allah, yang Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah ad-diinul qayyim, namun sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat, dan janganlah engkau termasuk ke dalam orang-orang yang mempersekutukan Allah. QS.Ar-Ruum [30]:30-31.
Jika seorang insan Allah SWT kembalikan kepada fitrah dirinya maka ia akan mengenali kodrat (qudrah) diri yang Allah SWT kuasakan kepadanya, dan ia akan mengenali tujuan spesifik dari penciptaan dirinya. Ia dikatakan telah menjadi orang yang mengenal diri sejatinya. Rasulullah saw bersabda: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, barang siapa mengenal dirinya (jiwanya) maka ia akan mengenal Rabb-nya. Dan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw berkata: “Awwaludinna ma’rifatullah”, bahwa awal atau permulaan dari agama (ad-diin) adalah mengenal Allah (mengenal Rabb).
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Ar-Ruum ayat 30-31 di atas, bahwa ad-diinul qayyum atau sekokoh-kokoh agama di dalam diri insan itu dapat terbangun ketika sang insan telah mengenali fitrah dirinya, beragama sesuai dengan jati dirinya, dan berjalan pada orbit shiratal-mustaqim-nya yang spesifik. Diungkapkan pada ayat tersebut, bahwa langkah awal untuk mengenali fitrah diri hanya bisa ditempuh dengan memasuki pintu gerbang pertaubatan. Sedangkan jenjang ma’rifatullah hanya merupakan awal dari kehidupan beragama secara benar dan kokoh. Mengenal diri artinya mengenal jiwa (nafs), maksudnya mengenal fitrah diri yang tertulis di dalam jiwa insan. Fitrah diri akan terbuka jika sang mu’min melakukan proses tazkiyatun-nafs untuk mensucikan jiwa dan qalb-nya. Ketika Allah SWT menerima pertaubatan seorang hamba-Nya, maka dosa-dosa yang menghijab qalb-nya mulai runtuh, sehingga proses mukasyafah atas jati dirinya yang haqiqi mulai terbuka secara bertahap.
Dalam skema tasawuf yang masyhur, tahapan Syariah-Thariqah-Haqiqah-Ma’rifah jika dikaitkan dengan hadits Rasulullah saw di atas, maka tampak bahwa tahapan ma’rifatullah belum merupakan suatu terminal akhir, tapi merupakan jenjang permulaan dari suatu kehidupan beragama yang benar (ad-diinul qayyum). Menurut dua ayat Al-Qur’an di atas ([20]:77 dan [23]:17), yakni tentang hubungan antara membuat “jalan kering” (thariiqan) di laut dan tujuh buah jalan (tharaaiq) di lelangit, adalah hubungan yang menyatakan tahapan Syariah-Thariqah. Hubungan ini merupakan simetri dari peristiwa “isra-mi’raj”. Isra adalah tentang perjalanan horizontal di muka bumi yang menghubungkan dua mesjid yang dimuliakan Allah, sedangkan mi’raj adalah tentang perjalanan vertikal menembus tujuh lapis lelangit. Isra adalah tentang penataan aspek jasad dengan syariat lahir, sedangkan mi’raj adalah penataan aspek jiwa/qalb dengan syariat bathin.
Dalam jenjang Haqiqah, Allah SWT memperjalankan jiwa hamba-Nya dalam suatu mi’raj ke segenap ufuk lelangit, kemudian diperjalankan masuk ke dalam jiwanya sendiri ([41]:53) untuk ditampakkan ihwal hakikat dari segala sesuatu yang berkaitan dengan ciptaan-ciptaan Allah SWT. Adapun tahapan Ma’rifah adalah tahapan pengenalan dengan Sang Pencipta segala sesuatu. Pengenalan terhadap segala hakikat ciptaan-Nya adalah bagian dari proses mengenal diri sendiri (ma’rifatun-nafs), dan merupakan awal dari pengenalan terhadap Sang Pencipta segala sesuatu (ma’rifatullah). Dan sekali lagi bahwa tahapan pengenalan terhadap Allah SWT merupakan awal dari agama, tujuan akhirnya adalah untuk menjadi hamba-Nya didekatkan, qariib billah.
Tujuan sejati dari berthariqah adalah untuk bertemu diri, yaitu mengenali kodrat (qudrah) diri dan misi hidup spesifik di muka bumi, sebagai khalifah pemakmur bumi. Insan kamil adalah cahaya Allah yang menampakkan rahasia (hakikat) dari tujuh lelangit dan bumi. Struktur cahaya Allah diungkapkan pada surah An-Nuur [24] ayat 35. Misykaat adalah bungkus luar yang menyatakan aspek jasadiyyah insan, dengan lubang-lubang panca inderanya. Ruang di dalam misykaat adalah dada (shadr), tempat hati (qalb) insan berada. Zujaajah adalah bola kaca yang melambangkan qalb insan. Bola kaca ini terdiri dari tujuh lapis kaca yang masing-masing kejernihan kacanya dapat memendarkan cahaya yang bertingkat-tingkat, pantulan dari cahaya minyak zaytun yang mensimbolkan amal-amal shalih. Shadr dan qalb terletak di dalam jiwa (nafs) insan yang dirahmati Allah SWT. Mishbah (pelita) adalah cahaya yang dipancarkan dari dalam inti jiwa, merupakan Ruh al-Qudus, utusan Allah SWT di dalam diri yang didatangkan dari alam Jabbarut. Ketika sang jiwa telah diperkuat oleh Ruh al-Qudus, ketika terjadi pertemuan antara dua “lautan” ([18]:60) cahaya, maka sang jiwa telah menjadi mursyid di dalam diri. Tujuan seorang Mursyid di dalam suatu thariqah adalah untuk memandu sang murid agar bertemu dengan mursyid yang di dalam diri sang murid, yaitu sang pembawa Qudratullah (kuasa Allah) sebagai bekal utama insan untuk menjadi khalifah pemakmur bumi.
Misykat cahaya-cahaya adalah insan yang di dalam dirinya terdapat nuurun ‘alaa nuurin, cahaya di atas cahaya, pertemuan antara cahaya yang datang dari luar qalb dan cahaya dari dalam qalb. Merupakan struktur target insan, tujuan sejati dari seorang pejalan suluk dalam menempuh olah jiwa (thariqah).
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ [٢٤:٣٥]
Allah adalah cahaya bagi lelangit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ada di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang yang berpendar seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. QS.An-Nuur [24]:35.
Wallaahu a‘lam. Bandung, 14 Desember 2014.
: : : : : : : : : : : : : : : : :
“Barangsiapa menjalani suatu thariqat (salaka thariqan) untuk menuntut ilmu maka dianugerahi Allah kepadanya thariqat ke surga.”
— Rasulullah Muhammad ﷺ