- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Makna Fana’ Menurut Sayyidi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (qs)

2 months ago

4 min read

Shulthan Awliya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dalam kitabnya “Adab as-Suluk wa at-Tawasshul Ilâ Manâzil al-Mulûk,” berkata:

: : :

Fana’-lah engkau dari makhluk dengan senantiasa mentaati hukum Allah SWT. Fana’-lah engkau dari cintamu kepada makhluk Allah dengan senantiasa mengikuti perintah-Nya, dan fana’-lah engkau dari kehendakmu sendiri dengan rela menerima semua tindakan Allah. Dengan demikian engkau layak menjadi cawan ilmu Allah.

Ciri bahwa dirimu telah fana’ dari makhluk Allah SWT adalah engkau menjadi tidak bergantung kepada mereka, engkau tidak gentar terhadap mereka, dan engkau tidak berputus asa atas apa-apa yang mereka miliki.

Ciri bahwa engkau telah fana’ dari diri dan hawa nafsumu adalah engkau meninggalkan seluruh usaha dan ketergantungan diri kepada sebab di dalam mendapatkan manfaat dan menolak mudharat.

Maka, janganlah engkau bergantung pada dirimu dalam meraih manfaat, menolak mudharat, serta dalam mempertahankan dan menolong dirimu sendiri.

Tetapi, serahkanlah semua itu kepada Dia Dzât yang memelihara dirimu dari awal hingga akhir, sebagaimana dulu saat engkau masih berada di dalam rahim ibumu, saat engkau masih kecil, dan di dalam buaian.

Adapun ciri bahwa kehendakmu telah fana’ di dalam perbuatan Allah SWT adalah engkau tidak memiliki kehendak sama sekali di hadapan Kehendak-Nya.

Engkau tidak memiliki tujuan, kebutuhan, atau pun pengharapanmu sendiri. Karena, bersama Kehendak Allah, engkau hanya akan menginginkan Kehendak-Nya semata. Bahkan, tindakan Allah-lah yang mengalir dalam dirimu, sehingga engkau menjadi kehendak dan tindakan-Nya.

Anggota tubuhmu tenang, hatimu tenteram, dadamu lapang, wajahmu bercahaya, batinmu sejahtera, dan engkau tidak membutuhkan apa pun selain dari Dia.

Engkau digerakkan oleh Kuasa-Nya, dan lisan keabadian pun menyerumu, lalu Rabb semesta alam akan mengajarimu, mengenakan jubah cahaya dan Keagungan-Nya kepadamu. Kemudian, Dia mendandanimu dengan pakaian kebesaran, memberimu kedudukan seperti yang telah diberikan-Nya kepada para salaf ahli ilmu.

Dirimu menjadi lebur selamanya, tidak ada lagi endapan hasrat dan kehendak dalam dirimu, bagaikan wadah yang pecah dan tidak lagi berisi cairan maupun kekeruhan.

Engkau bersih dari tindakan manusiawi, dan batinmu hanya menerima Kehendak Allah SWT.

Saat itulah engkau melampaui tatanan yang umum pahami tentang hukum, sehingga mereka menganggap itu sebagai kesaktianmu, padahal senyatanya itu adalah Kehendak dan Tindakan Allah Ta’ala.

Dan pada saat itulah engkau termasuk golongan orang-orang yang telah dihancurkan hatinya, mereka yang kehendak manusiawinya telah pecah, hasrat alaminya telah lenyap karena dipenuhi kehendak ketuhanan (irâdah rabbaniyyah) dan syahwah idhâfiyyah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: “Tiga hal yang aku telah dijadikan mencintainya di dunia ini: perempuan-perempuan (an-nisâ’), wewangian, dan dijadikan-Nya shalat sebagai cahaya mata (kesenangan)-ku.” (HR. An-Nasa’i)

Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi: “Aku bersama orang-orang yang telah hancur hatinya karena Aku.”

Allah tidak akan bersamamu sebelum seluruh diri, hasrat dan kehendak dirimu hancur.

Jika engkau telah pecah dan tidak ada sesuatu pun tersisa dalam dirimu, maka Dia akan menumbuhkanmu untuk-Nya.

Dia akan menjadikan kehendak dalam dirimu, dan engkau pun akan berkehendak sesuai dengan Kehendak-Nya itu.

Jika di dalam kehendak (irâdah) itu ada hasrat dirimu, maka Allah Ta’ala akan menghancurkannya karena keberadaan dirimu di dalamnya, sehingga engkau menjadi orang yang hancur hatinya untuk selamanya.

Allah SWT akan senantiasa memperbarui irâdah itu, dan akan melenyapkannya saat dirimu ada di dalamnya.

Demikian terus menerus hingga sampai batas waktu dan sampai pada pertemuan.

Inilah makna, “Aku bersama orang-orang yang hancur hatinya karena Aku.”

Adapun makna ucapan kami “… ketika engkau berada di dalam-Nya” adalah saat engkau merasa tenang dan tentram berada di dalam Kehendak-Nya.

Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwasanya Allah SWT telah berfirman, “HambaKu yang mu‘min senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka, saat Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia bertindak, dan menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah.” (HR Bukhari).

Dalam redaksi lain, “… maka, dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dengan-Ku ia bertindak, dan dengan-Ku ia berpikir.”

Demikianlah keadaanmu dalam fana’, yakni lenyap dari dirimu sendiri. Jika engkau telah lenyap dari dirimu sendiri dan dari makhluk yang lain, dan engkau tidak mengharapkan kebaikan mereka serta tidak takut akan kekejian mereka, maka yang tersisa hanyalah Allah sendiri sebagaimana sebelum Dia menciptakanmu dan menyelamatkanmu dari keburukan dan menenggelamkanmu ke dalam lautan kebaikan-Nya, hingga engkau menjadi wadah bagi semua kebaikan, menjadi pemancar semua kenikmatan, kebahagiaan, suka cita, cahaya, rasa aman dan ketenteraman.

Fana’ adalah tujuan dan harapan akhir dari perjalanan setiap Waliyullah. Fana’ adalah istiqamah yang diusahakan oleh setiap Wali dan para Abdal terdahulu.

Mereka berusaha untuk fana’ dari kehendak dirinya, hingga kehendaknya diganti dengan Kehendak Al-Haqq ‘Azza wa Jalla.

Dengan Kehendak Allah inilah mereka berkehendak hingga mereka wafat. Oleh karena itulah mereka disebut sebagai Abdal.

Sehingga, satu-satunya dosa yang mereka lakukan adalah menyekutukan Kehendak-Nya dengan kehendak yang keluar dari diri mereka sendiri, entah penyekutuan itu karena kelalaian, keterlupaan, atau karena terbuai di dalam suatu hal (ahwâl ruhaniyah) dan kedahsyatan tertentu. Lalu, Allah SWT menemui mereka dengan kasih-Nya, dengan penyadaran dan pengingatan, sehingga mereka tersadar dan cepat kembali serta memohon ampunan kepada Allah SWT.

Sungguh, selain malaikat, tidak ada yang terbebas dari berkehendak, para Nabi dijamin terbebas dari hasrat (hawâ), sedangkan yang lain tidak ada yang dijamin bebas dari kehendak dan hasrat (hawâ).

Adapun para Wali, mereka hanya dijaga (yahfazh) dari hasrat, dan para Abdal dijaga dari kehendak, tetapi mereka tidak dijamin terbebas dari keduanya. Yakni, dalam keadaan tertentu, para Wali dan Abdal ini juga memiliki kecenderungan pada kehendak dan hasrat dirinya, namun Allah SWT senantiasa menyadarkan mereka dengan Rahmat-Nya.[]

: : :

di genggaman tangan Cinta
aku menjadi pelantun Cinta
sambil bertepuk-tepuk tangan

Cinta kepada-Mu telah
membakar habis segala aib dan
nama baik serta segala yang kupunya

— Mawlana Jalaluddin Rumi (qs)

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

Urutan Memotong Kuku

Suatu hari Grandsyekh (q) berkata kepada saya, “Tolong potong kukuku.” MasyaaAllah, beliau mempunyai sebuah pisau yang besar, dan sepanjang hidup saya, saya belum pernah melihatnya

Religi

Qishash Sang Kekasih

Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak ada sifat yang lebih cepat mendatangkan rahmat Allah selain dari kepemurahan.” Dan di antara guru kepemurahan, maka Nabi Ibrahim as

Religi

Berihsan dengan Berthariqah

Orang yang tidak menempuh jalan thariqah biasanya tidak akan bisa memasuki hadirat al-ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dia akan senantiasa bersama dirinya sendiri

Religi

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?