- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Rabithah

2 weeks ago

2 min read

Asy-Syaikh al-Akbar Maulānā ‘Ubaidillāh, yang terkenal dengan sebutan Khwaja Ahrār, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ālā tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian Beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabīthah.

: : : : : : : : :

Dalam Tanwirul Qulub :
Karya Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi qs.

Umumnya hamba tidak bisa mencapai maqam agung ini dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan seorang pembimbing yang sempurna yang telah sampai pada maqam musyāhadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzātiyah. Oleh karena itu seorang murid harus mencari bantuan dari spirit Gurunya yang sempurna dan telah fanā’ di dalam Allah Ta’ālā. Selain itu, dia juga harus banyak menjaga (mengingat) rupa Gurunya. Selain karena alasan etika, hal itu juga dimaksudkan agar dia tetap bisa mendapat pancaran dari Gurunya saat Sang Guru tidak ada di hadapannya. Kehadiran kesadaran dan cahaya akan sempurna baginya dengan menjaga bayangan Syaikh dalam imajinasinya sambil menghadap ke hati sanubari hingga sampai pada keghaiban dan fanā’ dari diri. Fanā’ di dalam Syaikh merupakan pendahuluan fanā’ di dalam Allah Ta’ālā, karena hati menjadi tempat segala rahasia, maka melalui pewarisan dari Guru ke Guru inilah mereka sampai ke Rasulullah Saw. Inilah yang mereka sebut dengan rabīthah al-mursyid.

Pada prinsipnya, perhatian murid terhadap Syaikh Mursyid bukan karena pribadi Sang Mursyid semata, bukan pula untuk mencari sesuatu darinya secara otonom, melainkan karena anugerah Allah Ta’ālā yang mengalir pada dirinya. Itupun harus disertai keyakinan bahwa yang berbuat dan yang memberi efek pada hakikatnya adalah Allah Ta’ālā. Seperti si fakir yang berdiri di depan pintu orang kaya dan meminta sesuatu darinya. Dia meyakini bahwa yang memberi dan yang berderma adalah Allah Ta’ālā. Dialah yang pada genggaman tangan-Nya gudang-gudang langit dan bumi, tidak ada pelaku selain Dia. Murid berdiam di pintu Syaikh karena tahu bahwa Sang Syaikh adalah salah satu pintu nikmat Allah Ta’ālā. Allah berwenang untuk memberinya melalui dia.

Kenyataan tersebut merupakan hal yang tak terbayangkan penyangkalannya, kecuali di benak mereka yang telah ditetapkan Allah Ta’ālā menjadi orang-orang yang merugi. Mereka itulah orang-orang yang amal-amalnya sangat rugi, orang-orang yang tersesat dalam kehidupan dunia. Mereka menduga bahwa amal mereka itu baik. Padahal amal-amal mereka terhapus di dunia dan akhirat. Dan mereka sama sekali tidak memiliki penolong. Kalaulah dia orang yang percaya kepada para wali, sungguh para wali telah menjelaskan kebaikan dan manfaat besar rabithah al-mursyid. Mereka bersepakat dan mengatakan bahwa rabīthah al-mursyid memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari dzikir dalam pencapaian jadzbah ilāhiyah (tarikan ilahiah) dan pendakian sālik di tangga-tangga kesempurnaan.

Dari sejumlah pemuka Tharīqah Naqsyabandiyah ada yang hanya memberlakukan rabīthah al-mursyid bagi murid dalam sulūk dan taslīk. Ada pula yang memantapkannya sebagai keharusan bagi setiap murid, dengan alasan firman Allah Ta’ālā,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah [9]: 119)

Asy-Syaikh al-Akbar Maulānā ‘Ubaidillāh, yang terkenal dengan sebutan Khwaja Ahrār, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ālā tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian Beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabīthah.

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

Taubat Itu Fardhu ‘ain

“Memangnya saya selaknat apa sih?”… Begitu mungkin yang bisa terlontar dari lisan seseorang yang merasa telah taat beragama dan beribadah ketika tiba-tiba dia diseru untuk

Religi

Ujian Hidup dan Makna Kemiskinan

Seorang sahabat berkata kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai Allah.” Nabi saw menjawab, “Jika demikian, bersiap-siaplah untuk diuji.” Kemudian sahabat itu berkata, “Ya

Religi

7 Tingkatan Nafsu

[*] An-nafs, ‘aql, qalb, ruh, dan sirr adalah nama-nama untuk satu hal, yang lembut, bersifat ketuhanan, bersifat cahaya, disimpan pada objek yang bersifat jasmani dan gelap. Munculnya perbedaan

Religi

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?