Mohammed bin Salman, atau yang lebih dikenal dengan inisial MBS, adalah sosok yang kini mendominasi peta politik dan ekonomi di Saudi Arabia. Di usia 34 tahun, ia menjabat sebagai Putra Mahkota dan menjadi figur sentral dalam banyak perdebatan internasional. MBS telah menghadapi berbagai tuduhan, mulai dari keterlibatannya dalam pembunuhan seorang jurnalis hingga keterlibatan dalam konflik berdarah di Yaman. Terlepas dari kontroversi ini, ia tetap menerima penghormatan penuh dari berbagai negara, menunjukkan betapa besarnya pengaruh yang dimiliki oleh kerajaan yang kaya akan cadangan minyak terbesar di dunia ini.
Sejak ayahnya, Salman bin Abdulaziz, naik tahta pada 23 Januari 2015, MBS mulai mengambil peran penting. Penunjukannya sebagai Menteri Pertahanan dan Ekonomi pada usia 30 tahun mengejutkan banyak pihak. MBS yang tidak memiliki pengalaman pemerintahan sebelumnya dianggap sebagai pilihan yang tidak biasa, tetapi hal ini justru menjadi aset tersendiri di tengah tantangan yang dihadapi oleh keluarga kerajaan.
Kehidupan sehari-hari MBS dipenuhi dengan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan menghadapi tuntutan rakyat yang semakin meningkat. Dengan lebih dari setengah populasi Saudi Arabia berusia di bawah 25 tahun, MBS menyadari bahwa generasi muda ini merasa tertekan dan kehilangan arah. Keresahan ini diperparah oleh gelombang Arab Spring yang melanda negara-negara di sekitarnya. Oleh karena itu, MBS berusaha meluncurkan reformasi untuk modernisasi kerajaan.
Pada tahun 2015, MBS mengambil langkah berani dengan memimpin intervensi militer di Yaman setelah pemberontak Houthi merebut ibu kota Sanaa. Meskipun langkah ini meningkatkan citranya sebagai pemimpin yang kuat, konflik ini juga menciptakan krisis kemanusiaan yang parah dan mengundang kritik internasional. MBS yang percaya diri, memandang Iran sebagai musuh utama, merasa bahwa serangan militer adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kekuatan kerajaan.
Namun, tantangan terus menghampiri MBS, termasuk kegagalannya dalam mengatasi konflik di Yaman dan penurunan dukungan dari sekutu-sekutu Barat. Ketika Barack Obama mengumumkan kesepakatan nuklir dengan Iran, MBS merasa dikhianati oleh Amerika Serikat, yang selama ini dianggap sebagai ally utama. Dalam situasi ini, MBS berupaya memperkuat hubungan dengan pemerintah baru di bawah kepemimpinan Donald Trump yang lebih mendukung kebijakan keras terhadap Iran.
MBS juga meluncurkan program ambisius bernama Vision 2030 untuk mendiversifikasi ekonomi Saudi Arabia yang bergantung pada minyak. Dia berusaha menarik investasi asing dengan menawarkan berbagai proyek besar, termasuk pembangunan kota futuristik NEOM. Namun, skeptisisme investor terhadap kemampuan MBS untuk mewujudkan visi tersebut tetap ada.
Di tengah segala ambisi dan reformasi yang dilakukan, MBS tidak ragu untuk menindak tegas setiap bentuk oposisi. Penangkapannya terhadap para aktivis hak asasi manusia dan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada tahun 2018 menimbulkan kecaman global dan mengancam reputasinya. Tindakan brutal ini, meskipun menciptakan dampak negatif bagi citranya di luar negeri, menunjukkan bahwa kekuasaannya di dalam negeri tetap kuat.
MBS kini berada di persimpangan antara modernisasi dan otoritarianisme. Ia berusaha menciptakan citra sebagai pemimpin progresif sambil mempertahankan kontrol ketat atas masyarakat. Dengan tantangan yang terus berdatangan, baik dari dalam maupun luar negeri, masa depan MBS sebagai pemimpin Saudi Arabia akan sangat bergantung pada kemampuan dan keberhasilannya dalam menjalankan reformasi serta menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian.
Saudi Arabia telah melangkah maju dalam beberapa tahun terakhir di bawah kepemimpinan MBS, tetapi jalan ke depan penuh dengan tantangan. Apakah ambisi dan reformasi yang dicanangkan oleh MBS akan terwujud atau justru berujung pada krisis lebih lanjut? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan ini.