- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tuhan, Agama, “Jiwa”

3 months ago

4 min read

Feuerbach mengkritik Hegel yang dinilainya telah memutarbalikkan kenyataan, seakan-akan yang nyata adalah Tuhan (yang tidak kelihatan) sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya. Bagi Feuerbach, yang nyata tak terbantah adalah manusia, dan Tuhan adalah pikiran manusia.

Bagi Feuerbach, kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah, yaitu kepastian inderawi. Inti kritik Feuerbach, “bahwa bukanlah Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia.” Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia.

Di sisi lain, Freud mempertanyakan kenapa gagasan “Tuhan” sedemikian menguasai kesadaran dan kehidupan manusia, padahal Tuhan tidak dapat dilihat, didengar atau pun dirasakan. Meskipun Freud menyatakan bahwa “Penelitian (ilmiah) ini tidak bermaksud untuk mengambil sikap terhadap nilai kebenaran ajaran-ajaran religius,” namun ia langsung menambahi “Bagi kami cukup, bahwa kami menemukan bahwasanya agama menurut kodrat psikologisnya merupakan sebuah ilusi.”

Bagi Freud agama adalah pelarian neurotis dan infantil, karena ketimbang menghadapi dunia nyata dengan segala tantangannya, manusia malah mencari keselamatan dari “Tuhan” yang tidak kelihatan dan tidak nyata. Dengan penuh ketakutan, manusia tunduk terhadap sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata dan tantangannya. Sikap seperti itu khas sikap orang neurotis sekaligus infantil. Kalau manusia mau untuk menjadi betul-betul menanggulangi tantangan-tantangan dunia, maka ia harus membebaskan diri dari neurosis kolektif tersebut.

: : :

Pernah pada suatu hari, seorang mahasiswi psikologi datang untuk wawancara. Dia menanyakan, “Apa pandangan Islam atas psikologi? Bagaimana posisinya?”

Saya tegaskan bahwa yang saya katakan ini bukan mewakili posisi psikologi dalam Islam. Ini hanya pendapat pribadi saja.

Sebagaimana dinyatakan oleh Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad bahwa “…sebagian dari ajaran-ajaran eskatologi yang lebih populer, yang dalam hal ini, para penulis—kalangan teolog tradisionalis—telah gagal membedakan antara istilah nafs dan ruh, jiwa dan roh, baik dengan cara mempertukarkan kedua istilah itu maupun menggunakan yang satu untuk mengganti yang lain. Kecenderungan ini juga menjadi ciri sebagian besar analisis kontemporer. Persoalan bagaimana menamakan dan memahami fithrah kemanusiaan memang cukup njelimet sehingga banyak penulis kontemporer menegaskan bahwa mereka sangat malas membicarakan hal ini.”

Kerancuan itu bahkan terlihat lebih luas lagi dalam wacana Psikologi Islam, misalnya, bagaimana ketidaktelitian untuk membedakan antara nafs dengan hawa nafsu, nafs dengan psikis, lubb atau ‘aql (orang yang memilikinya disebut ulil albab) dengan nalar (otak), dan lain sebagainya. Bahkan dalam tesis mengenai Platon, saya menulis satu sub-bab khusus mengenai arkeologi konsepsi diri dan jiwa. Platon menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua entitas terpisah; jiwa itu abadi, ada sebelum tubuh dan akan tetap ada setelah tubuh mati, selain itu diri = jiwa dan jiwa = diri. Menariknya, agama Semit (Yudaisme, Nasrani, dan Islam) pada awalnya membedakan antara jiwa dengan ruh, namun kemudian jadi menyamakan, bahwa jiwa = roh dan roh = jiwa.

Gejala ini sebenarnya telah diungkapkan penyebabnya oleh Al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, dan ternyata masih terus terjadi hingga hari ini, yaitu, dikarenakan pemahaman akan istilah nafs, ruh, qalb dan ‘aql yang “…sedikitlah kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamakan dengan nama-nama tersebut. Kebanyakan kesalahan itu terjadi karena kebodohan dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya di antara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam.”

Oleh karena itu, jangan heran apabila di masa ini, kita mendapati buku yang membahas “kemana ruh kita akan pergi setelah kematian?” Atau buku yang menceritakan bahwa seorang sufi telah didatangi oleh ruh Abu Yazid al-Busthami. Bagaimana bisa ruh Abu Yazid datang kepada sufi itu? Bukankah yang sufi itu temui adalah nafs Abu Yazid? Lebih membingungkan lagi saat muncul istilah “arwah gentayangan.” Bagi umat Islam, ruh itu suci dan tak akan tersentuh oleh dosa (sebab jiwalah yang tersentuh oleh dosa), apalagi sampai mendapat siksa, sebab ruh itu berasal dari amr Rabb. Kok malah ada istilah “arwah gentayangan”? Atau perkataan “Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.” Bukankah satu orang itu punya satu ruh saja? Jika dikatakan “semoga arwahnya” berarti yang meninggal itu memiliki banyak ruh? Atau buku “psikologi Islam” yang menyamakan konsep psikis modern dengan nafs, lalu menyamakan nafs dengan ruh, sehingga hasilnya ketiga hal itu identik satu sama lain.

Saya sampaikan kepada mahasiswi tersebut, “Tolong beritahu saya, apakah sudah ada teori psikologi yang memandang bahwa psikis itu adalah entitas hidup yang terpisah dari tubuh, sebagaimana dinyatakan oleh Platon? Apakah sudah ada?”

Mahasiswi itu menggeleng. Saya kembali berkata, “Pernah ada penulis yang menyamakan ‘id’ sebagai ‘nafs amara bi su,’ lalu ‘nafs lawammah’ sebagai ‘ego,’ dan ‘nafsul muthmainnah’ sebagai ‘superego,’ sehingga konsekuensinya nanti, saat Allah memanggil, ‘Wahai nafsul muthmainnah’ maka yang datang ke hadapan Allah Ta’ala adalah ‘tempat penyimpanan nilai yang diajarkan oleh orangtua maupun para pengganti orangtua,’ sebab itulah definisi superego menurut Freud. Apakah seperti itu? Ini merupakan sintesis yang terlalu terburu-buru dan kurang jeli.”

Lalu saya melanjutkan ihwal pergeseran konsep diri dan jiwa setelah era agama Semit. Dalam pemikiran Descartes, jiwa itu menjadi sesuatu yang berpikir (res cogitans), dan pandangan senada juga mewarnai banyak filsuf setelahnya. Hingga nanti, di masa modern ini, kita mendapati bahwa diri tak lain adalah konstitusi etis yang mengarahkan tindak tanduk seseorang, sedangkan jiwa adalah ilusi ciptaan saraf dan otak.

Saya sampaikan bahwa “Merleau-Ponty bercerita tentang Schneider, seorang veteran perang, yang kepalanya kena pecahan granat dan jadi bermasalah dengan gerakan abstrak. Singkatnya, kalau ada kerusakan di otak kita, maka itu bisa berpengaruh juga pada psikis kita bukan? Kalau psikis itu punya kaitan erat dengan struktur fisiologis otak kita, maka saat kita mati dan otak ini terurai jadi tanah lagi, kenapa juga harus ada kehidupan lagi setelah kematian fisik ini? Kenapa harus ada kehidupan berikutnya untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan seseorang di muka bumi ini kepada Tuhan, sementara ihwal Tuhan itu sendiri sudah menjadi pertanyaan besar dalam filsafat dan sains?”

Akhirnya, saya menunjukkan koleksi buku-buku di perpustakaan pribadi seraya berkata, “Itulah sebabnya kenapa koleksi buku saya mayoritas adalah buku filsafat Barat juga psikologi Barat plus kajian budaya, di satu sisi, lalu kitab-kitab para sufi beserta kajiannya, di sisi lain. Buku yang membahas topik seperti psikologi Islam… Hmmm, rasanya tidak ada …”[]

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/Hi2JsKkGaPePnzh2/

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

November 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?