Ibn ‘Arabi pernah mengemukakan alegori yang serupa dengan Alegori Gua dari Platōn, namun dengan penjelasan sebagai berikut:
: : :
Barangsiapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara) pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagi pula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.
: : :
Selain itu, laqab atau gelar lain yang disandangkan kepada Ibn ‘Arabi adalah Ibn ‘Aflatun (Putra Platōn). Dalam tulisannya, Ibn ‘Arabi pun pernah memuji Platon, misalnya sebagai berikut:
: : :
Dan kalau pun ada di antara mereka (para filsuf) yang merasakan keadaan spiritual, seperti Platōn Sang Bijak, hal itu sangatlah jarang: orang-orang seperti itu dapat disetarakan dengan pemilik wahyu dan kontemplasi.
: : :
Claude Addas menjelaskan “Ini berarti bahwa menurut Ibn ‘Arabi, hanya filsuf sejati, yaitu filsuf yang berhak menyandang gelar ‘sang bijak’ (kata hakim di sini sepadan dengan kata ‘arif, ahli ma’rifat), yang berusaha menyempurnakan pengetahuannya dengan menggunakan kontemplasi dan pengalaman spiritual. Teladan bagi filsuf macam ini adalah sosok manusia yang diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi pada bagian yang baru saja dikutip sebagai “Platon Ilahi” (Aflatun Al-Ilahi).”
Plotinos yang hidup di zaman kekaisaran Romawi, dalam Enneades IV 8 [6] 1, 23-24, juga menyebutnya dengan penuh hormat sebagai “Platon yang Ilahi”; dan Plotinos pun menuliskan sebagai berikut:
: : :
Wicara kita ini sama sekali tidak baru dan tidak berasal dari kekinian. Semua sudah ada di zaman klasik meski maknanya belum dimengerti secara penuh. Saat kita sekarang berbicara, kita hanyalah penafsir wacana yang sudah ada sebelumnya, yaitu karya-karya Platōn.
: : :
“The authentic self is the soul made visible.”
— Sarah Ban Breathnach