Wakaf, dalam konteks syariah, adalah tindakan menahan harta untuk dimanfaatkan dengan tetap utuh secara fisik, sementara manfaatnya dialokasikan pada bidang yang diperbolehkan dan diarahkan sesuai syariah. Namun, wakaf tunai pada dasarnya tidak diakui dalam perspektif fuqaha’ Syafi’iyah karena uang cenderung hilang saat dibelanjakan, tidak memenuhi syarat kekekalan fisik dan pokok barang.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat, ada yang memandang wakaf tunai dapat diterima dengan menganggap mata uang sebagai barang yang dapat disewakan. Namun, ketika uang tersebut digunakan untuk membeli saham perusahaan, muncul permasalahan karena sifat fisik uang yang rentan hilang akibat penyaluran. Sebagai solusi, uang tersebut dapat diserahkan kepada penerima wakaf melalui akad wakalah untuk dibelikan saham.
Saham sebagai surat berharga memiliki aset landasan berupa barang musya’, yang dapat diwakafkan dalam syariah. Dengan demikian, obyek wakafnya adalah barang musya’ bukan uang. Dalam hal ini, penjualan saham wakaf diperbolehkan hanya dalam situasi darurat atau jika terdapat manfaat yang lebih besar.
Proses pertukaran aset wakaf karena darurat atau demi kemaslahatan dikenal dengan istilah istibdal (tukar guling), yang memerlukan izin hakim atau pertimbangan kemaslahatan dalam transaksi tersebut. Sebagai aset wakaf, saham tidak dapat diperjualbelikan kecuali dalam keadaan tertentu yang diizinkan syariah.
Secara kesimpulan, wakaf tunai tidak diakui dalam mazhab Syafi’i karena tantangan dalam menjaga kekekalan fisik uang. Penyaluran uang tunai untuk membeli saham mengharuskan aset landasan saham diwakafkan sebagai barang musya’. Penjualan saham wakaf hanya dibolehkan dalam kondisi darurat dan demi kemaslahatan, menggunakan akad istibdal. Semoga informasi ini bermanfaat dan menjadikan kita lebih memahami hukum serta prosedur wakaf tunai untuk saham perusahaan.