Dalam ajaran Islam, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai status najis anjing. Beberapa ulama sepakat bahwa anjing termasuk benda yang diperselisihkan dalam hal kenajisan. Syekh Wahbah Az-Zuhayli bahkan menyebut anjing sebagai nomor pertama dalam daftar benda yang dipertanyakan status najisnya.
Menurut Mazhab Hanafi, anjing tidak dianggap sebagai benda najis karena memiliki manfaat sebagai penjaga dan pemburu. Namun, babi jelas dianggap sebagai benda najis. Meskipun begitu, menurut Mazhab Hanafi, mulut dan feses anjing tetap dianggap najis meskipun status kenajisan beberapa bagiannya tidak bisa disamakan pada fisiknya secara keseluruhan.
Di sisi lain, Mazhab Maliki memandang anjing sebagai hewan yang suci. Namun, jika sebuah bejana terkena liur anjing, kaki, atau lidahnya, harus dibasuh tujuh kali sebagai bentuk ketaatan terhadap syariat.
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, sebaliknya, memandang anjing dan babi serta air bekas jilatan keduanya sebagai najis berat. Benda yang terkena najis tersebut harus dibasuh tujuh kali dengan salah satunya dicampur dengan debu yang suci.
Selain anjing, masih terdapat benda lain yang diperselisihkan ulama mengenai status najisnya, seperti bangkai hewan air, bangkai hewan tanpa aliran darah, kencing bayi laki-laki yang masih menyusu, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, mayoritas masyarakat cenderung mengikuti pandangan dari Mazhab Syafi’i. Mereka akan membasuh tujuh kali benda yang terkena jilatan anjing, di mana salah satu kali pembasuhan menggunakan air yang dicampur dengan debu suci.
Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pandangan ulama terkait status najis anjing dalam Islam. Kami selalu terbuka untuk menerima masukan dan kritik dari pembaca demi penyempurnaan artikel ini. Terima kasih.