Dalam konteks hukum gadai menurut perspektif Islam, prinsip utamanya adalah untuk menjaga kepercayaan antara pemberi utang dan penerima utang. Akad rahn (gadai) diciptakan sebagai jaminan agar utang dapat dilunasi tepat waktu.
Ada dua kondisi dalam hukum pemanfaatan barang gadai:
- Pemanfaatan barang gadai bisa dilakukan melalui transaksi jual beli dengan janji untuk membeli kembali barang tersebut.
- Pemanfaatan barang gadai juga bisa diperbolehkan dengan izin atau pasti diizinkan oleh pihak yang menggadaikan.
Penerima gadai memiliki kewajiban untuk menjaga agar barang yang digadaikan tetap terjaga fungsinya. Misalnya, jika yang digadaikan adalah tanah pertanian, maka tanah tersebut harus tetap dikelola agar tidak mengalami kerusakan.
Menyewakan sawah yang digadaikan tidak diperbolehkan karena barang yang digadaikan tetap menjadi milik penggadai. Namun, jika penerima gadai tidak mampu menjaga sendiri, ia bisa mempekerjakan orang lain dengan biaya upah yang dibebankan kepada penggadai.
Hasil dari perawatan barang gadai, seperti panen dari sawah, seharusnya menjadi milik penggadai. Namun, penerima gadai bisa menerima upah atas perawatan tersebut.
Dalam hal ini, penting untuk memastikan bahwa perawatan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tidak menyimpang ke arah yang tidak diinginkan secara hukum. Semua tugas yang dilakukan terkait barang gadai harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang berlaku dalam konteks gadai.