Dalam hadits disebutkan bahwa terdapat lima hal yang merupakan fitrah, antara lain mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku. Dalam konteks ini, para ulama memiliki pandangan yang beragam terkait makna kata ‘fitrah’ dalam hadits tersebut.
Beberapa ulama dari Madzhab Syafi’i menafsirkan ‘fitrah’ dalam hadits tersebut sebagai agama (ad-din), sementara mayoritas ulama, termasuk Al-Khaththabi, menafsirkannya sebagai sunah atau kebiasaan yang biasa dilakukan. Pandangan ini didukung dengan ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang fitrah Allah yang menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat, Muhyiddin Syaraf An-Nawawi menyimpulkan bahwa tafsir yang tepat atas kata ‘fitrah’ dalam konteks ini adalah sunah. Hal ini karena terdapat riwayat dari sunah Nabi yang menunjukkan praktik mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku sebagai bagian dari sunah tersebut.
Terkait dengan pembahasan kata ‘fitrah’, Ibnus Shalah memberikan pendapat bahwa kata ‘fitrah’ seharusnya diikuti dengan kata ‘sunah’ atau ‘adab’. Dengan demikian, fitrah dapat diartikan sebagai sunatul fitrah atau adabul fitrah, yang mengacu pada kebiasaan yang dianjurkan oleh penciptaan.
Secara keseluruhan, meskipun terjadi perbedaan pandangan di antara para ulama, dapat disimpulkan bahwa fitrah dalam hadits tersebut mengacu pada sunah atau kebiasaan yang dianjurkan oleh para nabi. Pandangan ini didukung oleh Ibnul Atsir dan Syekh Muhamad Thahir yang menyatakan bahwa fitrah adalah kebiasaan terdahulu yang dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh syariat.
Dengan demikian, pemahaman mengenai makna fitrah dalam hadits dan tafsir para ulama menjadi penting untuk menjaga keberlangsungan praktik keagamaan yang sesuai dengan ajaran yang telah ditetapkan.
