Dalam sebuah pernikahan, terdapat pertanyaan mengenai sah atau tidaknya pernikahan ketika mempelai wanita sudah dalam keadaan hamil namun informasi tersebut ditutupi dari pihak keluarga. Apakah pernikahan tersebut sah jika terdapat unsur kebohongan?
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa kebohongan yang terjadi terkait dengan status kehamilan tidak memengaruhi sahnya akad pernikahan. Namun, jika informasi yang disembunyikan adalah terkait dengan status iddah atau status perkawinan calon mempelai wanita, hal tersebut dapat mempengaruhi keabsahan pernikahan. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan dianggap sah menurut ajaran agama.
Meskipun calon mempelai wanita dalam kondisi hamil, asalkan syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, maka akad pernikahan tetap dianggap sah. Kehamilan bukanlah faktor yang dapat menghalangi keabsahan akad nikah. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Syekh M Nawawi Al-Bantani yang menyatakan bahwa pernikahan tetap sah meskipun terjadi kehamilan akibat zina.
Dengan demikian, tidak diperlukan ijab-qabul ulang setelah bayi lahir karena pernikahan dianggap sah. Selain itu, sang naib yang menyatukan keduanya tidak dapat disalahkan karena telah melaksanakan tugasnya sesuai prosedur.
Sebagai saran, penting bagi orang tua untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka tentang halal dan haram melalui majelis taklim. Selain itu, pengawasan terhadap pergaulan anak-anak juga perlu ditingkatkan guna mencegah mereka dari berbagai kemungkinan buruk seperti perzinaan dan penyalahgunaan narkoba.
Diharapkan jawaban ini dapat memberikan pemahaman yang baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca demi meningkatkan kualitas informasi yang disampaikan.