Pada saat puncak pelaksanaan ibadah haji, para jamaah haji dari seluruh dunia berkumpul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Dengan jumlah mencapai 3-4 juta orang, hal ini membawa konsekuensi penting terkait kesehatan dan keselamatan para jamaah.
Terkait padatnya jumlah jamaah haji, terdapat perdebatan mengenai waktu yang tepat untuk melontar Jumrah pada tiga hari Tasyriq. Beberapa kelompok jamaah haji Indonesia melontar Jumrah lebih awal, sebelum terbit fajar, meskipun hadits Nabi SAW menyatakan bahwa waktu melontar seharusnya setelah tergelincir matahari (ba’da zawal).
Menurut mayoritas ulama, melontar Jumrah baik Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah maupun Jumrah pada tiga hari Tasyriq dianggap wajib. Bagi yang tidak melontar Jumrah Aqabah, diwajibkan membayar dam.
Pendapat ulama berbeda mengenai waktu yang dianggap sah untuk melontar Jumrah Aqabah. Ada yang mengijinkan setelah terbit fajar, setelah lewat tengah malam pada malam hari Nahr, dan ada yang membatasi hingga saat terbenam matahari pada akhir hari Tasyriq.
Dalam konteks melontar Jumrah pada hari-hari Tasyriq, ulama juga memiliki perbedaan pendapat. Mayoritas ulama menyatakan tidak sah melontar Jumrah pada hari-hari Tasyriq sebelum tergelincir matahari, sementara Imam Abu Hanifah membolehkannya sebelum tergelincir matahari.
Sejumlah ulama seperti Atho’ dan Thowus dari golongan Tabi’in mengizinkan melontar Jumrah pada hari-hari Tasyriq sebelum tergelincir matahari. Namun Imam Rafi’i menilai pendapat ini lemah dan menyarankan pelaksanaannya setelah fajar.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa melontar Jumrah pada tiga hari Tasyriq sebelum terbit fajar untuk hari besoknya tidak sah. Oleh karena itu, disarankan bagi jamaah haji yang tidak dapat melontar pada waktu yang afdloliyah (setelah tergelincir matahari) untuk melakukannya setelah terbit fajar.
