Bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seringkali menjadi pilihan sulit namun diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, tidak jarang TKI menghadapi masalah terkait gaji dan hak-hak yang seharusnya mereka terima sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.
Dalam kasus di mana seorang TKI mendapati bahwa gajinya tidak sesuai dengan perjanjian kerja (PK) yang telah ditandatangani atau jam kerja melebihi dari yang tertera dalam PK, muncul pertanyaan tentang tindakan yang dapat diambil oleh TKI tersebut.
Apabila seorang TKI mengambil uang dari majikannya tanpa sepengetahuan majikan demi mendapatkan gaji sesuai dengan yang tertera dalam PK, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang legalitas tindakan tersebut menurut hukum syariah. Perlu dicatat bahwa perjanjian kerja yang dibuat karena adanya tekanan atau keterpaksaan tidak sah menurut syara’, sehingga yang dianggap sah adalah perjanjian kerja yang ditandatangani tanpa unsur paksaan.
Meskipun hukum mengambil uang yang dilakukan oleh TKI tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang berakibat potong tangan, karena TKI tersebut mengambil haknya sendiri, namun cara penyelesaian konflik ini sebaiknya dilakukan melalui komunikasi aktif antara majikan dan TKI. Jika komunikasi tidak membuahkan hasil, TKI sebaiknya tidak mengambil lebih dari yang seharusnya menjadi haknya.
Penting untuk memperhatikan analogi kisah Hindun dalam menuntut haknya terkait nafkah dari suaminya. Dalam kasus ini, Rasulullah saw memperbolehkannya untuk mengambil haknya dan hak anak-anaknya secara proporsional. Komunikasi dan penyelesaian konflik dengan bijaksana menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan gaji dan hak TKI di luar negeri.