Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Nabi Muhammad, wafat di usia muda. Dalam kitab Madarijus Su’ud, Syekh Nawawi Banten menyebutkan adanya perbedaan pendapat mengenai usia wafat Abdullah. Beberapa ulama berpendapat bahwa ia wafat pada usia 18 tahun, 25 tahun, 28 tahun, dan 30 tahun. Selain itu, terdapat juga perbedaan pandangan mengenai usia Nabi Muhammad saat ditinggal wafat oleh ayahnya. Ada yang menganggap Nabi Muhammad masih dalam kandungan Sayyidah Aminah dengan usia kehamilan enam bulan, sementara pendapat lain menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sudah lahir dan masih dalam ayunan dengan usia dua bulan, tujuh bulan, dan 28 bulan. Pendapat yang paling terkenal adalah bahwa saat Nabi Muhammad ditinggal wafat oleh ayahnya, ia berusia dua bulan dalam kandungan ibunya.
Syekh Nawawi mengisahkan bahwa Abdullah mendapat tugas dari ayahnya, Abdul Muthalib, untuk pergi ke Madinah, atau menurut pendapat lain ke Gaza, guna membeli buah-buahan seperti kurma dan anggur untuk sebuah acara. Abdullah berangkat bersama rombongan Quraisy yang akan berdagang. Namun, dalam perjalanan pulang ke Makkah, kesehatan Abdullah menurun. Untuk memulihkan stamina, ia memutuskan untuk singgah di rumah salah satu kerabatnya, Bani Addi dari suku Najjariyah, dengan harapan kesehatannya dapat kembali normal. Sementara itu, kafilah yang bersamanya melanjutkan perjalanan pulang ke Makkah.
Namun, Allah menghendaki lain. Selama sebulan dirawat oleh Bani Addi, Abdullah tidak menunjukkan tanda-tanda akan sembuh; kesehatan justru semakin memburuk. Di tempat lain, Abdul Muthalib melihat kafilah yang sebelumnya berisi Abdullah ternyata telah sampai di Makkah. Ia pun mencari anak kesayangannya yang tak kunjung ditemukan. Kemudian diketahui bahwa Abdullah tidak ikut pulang karena sedang sakit dan dirawat oleh keluarga Bani Addi. Mendengar kabar ini, Abdul Muthalib langsung mengutus anak sulungnya, Harits, untuk menjenguk Abdullah. Betapa terkejut dan sedihnya Harits saat menemukan adiknya telah wafat dan dimakamkan di Darut Tababa’ah atau menurut pendapat lain di Al-Abwa. Harits segera kembali ke Makkah untuk menyampaikan kabar duka kepada ayahnya, Abdul Muthalib. Saat tiba di Makkah, Abdul Muthalib sangat berduka mendengar kehilangan anak tercintanya. Air mata pun mengalir deras seiring dengan syair yang dilantunkannya:
أحبتي هان كلُّ شيئٍ في نظري * لمّا رحلتم ولم أقضِ بِكم وطري
غِبتم عن العينِ في قلبي لِبُعدكم * نارُ تلهّبِها يغشَى على البصري
لكنْ قضا اللهِ ربّي لا مردّ له * ولا حذارَ لِما يجري على القدر
Artinya: “Kekasihku, segala sesuatu telah hina dalam pandanganku, saat engkau menempuh perjalanan dan tidak memenuhi kebutuhanku. Engkau telah hilang dari pandanganku, di hatiku terdapat api yang menyala dan menutupi pandanganku sebab engkau jauh. Tetapi ketentuan Allah tidak bisa dihindari, tidak ada orang yang bisa berlari dari ketetapan-Nya.”
Di balik kesedihan atas wafatnya Abdullah, terdapat hikmah besar yang disiapkan Allah untuk Nabi Muhammad yaitu kemandirian dan ketergantungan kepada Allah, bukan kepada manusia. Sejumlah ulama hikmah mengekspresikan dengan syair:
أخذ الإله أبا الرسول و لم يزل * برسوله الفرد اليتيم رحيما
نفسي الفداء لمفرد في يتمه * و الدّر أحسن ما يكون يتيما
Artinya: “Allah telah mengambil ayah Rasulullah, dalam kesendiriannya yang menjadi yatim, Rasulullah selalu berada dalam kasih sayang-Nya. Jiwaku menjadi tebusan untuk orang yang sendiri dalam ke-yatim-an, dan seindah-indahnya mutiara adalah menjadi yatim.” Wallahu A’lam.