Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan, umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri sebagai bentuk syukur atas keberhasilan mereka. Idul Fitri, yang merupakan hari pertama bulan Syawal, dipenuhi dengan perayaan yang mencerminkan kemenangan umat Islam setelah melaksanakan puasa.
Di berbagai belahan dunia, tradisi merayakan Idul Fitri beragam sesuai dengan budaya dan kebiasaan masing-masing negara. Di Indonesia, misalnya, tradisi bermaaf-maafan, ziarah ke makam nenek moyang, dan bersilaturrahmi dengan keluarga serta teman-teman menjadi bagian penting dari perayaan ini.
Namun, bagaimana dengan tradisi yang dilakukan oleh dinasti-dinasti dan pemimpin umat Islam di masa lampau dalam merayakan hari raya? Dalam karyanya, Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri menjelaskan bahwa hari raya dijadikan momentum oleh para raja dan dinasti terdahulu untuk menunjukkan kekuatan Islam. Mereka tampil dengan ribuan prajurit dan penduduk, diiringi dengan lagu-lagu kebesaran kerajaan, sehingga umat Islam dihormati oleh pemeluk agama lain.
Tradisi ini berlanjut hingga masa Sultan Abdul Hamid, pemimpin ke-34 Kesultanan Utsmaniyah. Ia dikenal sebagai sosok yang adil dan sangat memprioritaskan kemaslahatan umat Islam dan rakyatnya. Di setiap hari raya, Sultan Abdul Hamid menunjukkan bala tentaranya sambil membacakan takbir.
Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syatiri mencatat dalam salah satu kitabnya bahwa pemimpin umat Islam dianjurkan untuk menampilkan kekuatan dan kemuliaan Islam pada hari raya. Raja-raja sebelumnya menampakkan kekuatannya dengan mempertontonkan tentara, dan Sultan Abdul Hamid adalah yang terakhir melakukan tradisi ini. Masa kepemimpinannya berlangsung selama 30 tahun, dan ia dikenal sebagai pemimpin yang kuat iman dan ikhlas berjuang untuk agama dan rakyatnya.
Selain mempertontonkan bala tentara, raja-raja zaman dahulu juga mengikutsertakan para pemuda pemberani dalam pertunjukan ini. Mereka berpakaian rapi dan berseragam, diatur dalam kelompok sesuai barisan masing-masing. Pasukan berkuda berbaris terpisah dari pasukan berkendara, menciptakan sebuah pemandangan yang megah.
Sultan Abdul Hamid memiliki kebiasaan khusus pada hari raya dengan keluar bersama pengawal kerajaan yang terdiri dari tiga puluh ribu pemuda pemberani berseragam. Mereka diiringi oleh banyak tentara berkendara dan berkuda yang menyanyikan lagu-lagu kepadanya. Dengan cara ini, umat Islam memperoleh kehormatan di mata pemeluk agama lain.
Dari kisah ini, terdapat banyak pelajaran berharga, seperti pentingnya kekompakan dan soliditas umat Islam. Raja-raja terdahulu berupaya keras untuk mempertahankan persatuan kaum muslimin di tengah tantangan yang ada. Persatuan merupakan inti dari ajaran Islam yang mulia, dan menjadi fondasi kekuatan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, serta berbangsa.
Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Tulisan ini menggambarkan bagaimana pemimpin Islam terdahulu merayakan Idul Fitri dengan menampilkan kekuatan dan persatuan. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah ini dan menjadikan hari raya kita sebagai waktu yang penuh berkah.