Kisah pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Adam berlangsung atas permintaan Nabi Musa. Mengenai waktu dan tempat pertemuan tersebut, kita cukup meyakini kebenaran wahyu dan informasi yang datang dari Rasulullah saw. Sebab, pertemuan serupa juga pernah dialami oleh Rasulullah saw., seperti pada peristiwa isra’. Dalam momen tersebut, beliau menjadi imam shalat para nabi di Masjidil Aqsha dan sempat berbincang dengan beberapa nabi, termasuk Nabi Musa di langit.
Tujuan Nabi Musa menemui Nabi Adam adalah untuk mempertanyakan pengeluaran Adam dari surga akibat dosa yang dilakukannya. Namun, Nabi Adam mampu memberikan argumen yang membuat Nabi Musa terdiam. Rasulullah saw. pun bersaksi akan kekuatan hujah Nabi Adam yang membuat Nabi Musa tidak dapat melanjutkan pembicaraan.
Dalam hadits riwayat Muslim dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah saw. mengisahkan:
“Pada suatu kesempatan, Adam dan Musa berdebat di hadapan Tuhan mereka. Namun, Adam berhasil mengalahkan Musa dengan hujahnya. Kala itu, Musa mulai angkat bicara, ‘Hai Adam, engkau adalah nabi yang telah diciptakan Allah langsung dengan tangan-Nya, ditiupkan ruh langsung dari ruh-Nya, disujudi oleh para malaikat, dan ditempatkan di surga-Nya, namun engkau telah mengeluarkan manusia ke bumi karena kesalahan yang diperbuatmu sendiri.’”
Adam kemudian menjawab, “Engkau juga nabi yang dipilih Allah dengan risalah dan kalam-Nya, diberi lembaran-lembaran wahyu yang memuat penjelasan segala sesuatu di dalamnya, didekati dengan bisikan wahyu-Nya. Berapa lama engkau mendapati Allah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?” Musa menjawab, “Empat puluh tahun.”
Selanjutnya, Adam bertanya kembali, “Apakah dalam Taurat engkau mendapati ayat yang mengatakan, ‘Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia?’ (Q.S. Thaha [20]: 121).” Musa menjawab, “Iya.” Adam melanjutkan, “Apakah engkau masih saja menyalahkanku karena aku telah melakukan suatu perbuatan yang ditetapkan Allah untuk aku perbuat empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?” Ditegaskan oleh Rasulullah saw, “Akhirnya, Adam pun mengalahkan Musa dengan hujahnya,” (HR. Muslim).
Dalam riwayat al-Bukhari dikatakan:
“Suatu ketika, Adam berdebat dengan Musa. Kala itu, Musa berkata kepadanya, ‘Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Namun, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.’ Adam menjawab, ‘Wahai Musa, Allah juga telah memilihmu dengan kalam-Nya, membuat catatan wahyu dengan tangan-Nya. Namun mengapa engkau menyalahkanku atas perkara yang telah ditetapkan-Nya untukku empat puluh tahun sebelum menciptakanku?’ Saat itulah Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya.”
Sikap Nabi Musa mempersoalkan Nabi Adam memang beralasan. Kehidupan dunia ini penuh dengan kesulitan dan perjuangan. Segala sesuatu yang diinginkan harus diusahakan dengan keras, baik itu makanan, minuman, pakaian, maupun tempat tinggal. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa manusia diciptakan dalam kepayahan (Q.S. al-Balad [90]: 4).
Nabi Musa mengalami banyak penderitaan saat menghadapi Fir’aun dan pengikutnya. Ia harus melarikan diri dari Mesir ke Madyan dan menggembala kambing selama delapan tahun. Selama itu pula ia mendapatkan banyak kesulitan akibat penentangan dan penderitaan dari kaum Bani Israil. Dalam pikirannya muncul anggapan bahwa semua penderitaan ini mungkin disebabkan oleh tindakan Adam yang mengeluarkan diri dan keturunannya dari surga.
Adam dijamin tidak akan kelaparan atau kehausan di dalam surga. Namun setelah melanggar perintah Allah, ia diturunkan dari surga. Akibatnya, manusia harus berjuang keras untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Ketika berjumpa dengan Nabi Adam, Nabi Musa seakan menyalahkannya karena telah mengeluarkan keturunannya dari tempat yang penuh kenikmatan. Musa juga menyebutkan keistimewaan Allah yang diberikan kepada Adam. Namun, Nabi Adam tidak gentar menghadapi pertanyaan Musa. Ia menolak untuk dipersalahkan dan justru mengungkit kembali karunia Allah yang diterimanya.
Dari perdebatan ini terdapat banyak pelajaran penting. Pertama, diperbolehkan berdiskusi dengan orang-orang saleh ketika menemukan suatu permasalahan demi menegakkan kebenaran. Kedua, kita diwajibkan mengimani perkara gaib yang hak. Ketiga, saat berdiskusi perlu saling mengetahui kelebihan satu sama lain.
Hadits ini juga menunjukkan sifat ‘tangan’ bagi Allah yang tidak boleh kita nafikan atau samakan dengan makhluk-Nya. Selain itu, hadits tersebut mengungkapkan ketetapan takdir sebelumnya yang harus kita imani.
Kesulitan yang dialami manusia merupakan ujian Allah untuk membalas perbuatan mereka. Surga adalah tempat kembali bagi hamba yang telah bersih dari kesalahan. Tanpa karunia Allah, sangat sulit bagi manusia untuk kembali masuk ke dalam surga dengan amal-amalnya.