Salah satu sahabat Nabi yang paling setia dalam menemani Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam adalah Abu Bakar. Kemana pun Rasulullah pergi, ia selalu siap mendampingi, tanpa mempedulikan keadaan yang dihadapi. Contoh nyata dari loyalitasnya adalah ketika Nabi hijrah ke Madinah, di mana ia adalah satu-satunya sahabat yang menemani perjalanan tersebut.
Keberanian dan komitmen Abu Bakar terhadap ajaran Islam sangat jelas terlihat. Saat Islam memerlukan dukungan, ia tidak ragu untuk menyumbangkan semua hartanya tanpa memikirkan nasibnya setelah itu. Keimanan yang kuat dalam dirinya mengalahkan segala keraguan. Ia rela kehilangan semua hartanya demi kemajuan dan perkembangan Islam.
Abu Bakar juga dikenal sebagai sahabat Nabi yang memiliki keimanan yang paling kuat. Segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah diterima dengan penuh keyakinan tanpa mempertanyakan atau meragukan. Salah satu momen penting adalah ketika kabar Isra Mi’raj mulai menyebar di semenanjung Arab.
Ketika orang-orang Quraisy mendengar bahwa Abu Bakar belum mengetahui kabar tersebut, mereka segera mendatanginya untuk mencemooh dan menghina Rasulullah di hadapannya, berharap Abu Bakar akan ragu dan tidak percaya pada peristiwa luar biasa yang dialami Nabi dengan waktu yang sangat singkat.
Mereka menceritakan peristiwa yang dianggap tidak masuk akal itu kepada Abu Bakar, mengklaim bahwa Isra Mi’raj hanyalah sebuah dongeng yang dibuat-buat oleh Nabi untuk menipu umatnya. Namun, setelah mendengar penjelasan mereka, Abu Bakar dengan tenang bertanya, “Apakah Rasulullah benar berkata demikian?”
Mereka menjawab, “Iya.” Meski terus dibantah dan dicemooh, Abu Bakar dengan tegas menyatakan,
أَنَا صَدَقْتُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فَكَيْفَ أُكَذِّبُهُ فِي ذَلِكَ، مَادَامَ قَالَ فَقَدْ صَدَقَ
Artinya, “Sungguh saya telah membenarkannya perihal khabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar.”
Jawaban ini menjadi gambaran bagi para ulama tafsir bahwa iman sejati adalah iman yang tidak mempertanyakan tindakan pembawa risalah, melainkan percaya sepenuhnya, meskipun tampak tidak rasional.
Dalam catatan sejarah lainnya, ketika kabar Isra Nabi Muhammad mulai menyebar di Arab, banyak umat Islam yang murtad dan mengingkarinya. Di saat yang sama, orang-orang musyrik berusaha melemahkan keimanan Abu Bakar dengan memfitnah Nabi tentang perjalanan singkatnya dari Makkah ke Masjidil Aqsha. Mereka bertanya kepada Abu Bakar, “Bagaimana pendapatmu tentang sahabatmu (Rasulullah) yang mengaku telah diperjalankan dari Makkah ke Baitul Maqdis?”
Abu Bakar tidak langsung menjawab, tetapi bertanya kembali, “Apakah Rasulullah sendiri yang mengatakan demikian?” Setelah mendapatkan jawaban “iya”, ia tegas mengatakan, “Jika benar Rasulullah mengatakan demikian, semua itu adalah kebenaran dan saya percaya dengannya.”
Dengan penuh jengkel, orang-orang Quraisy mencoba meragukan kepercayaannya dengan mempertanyakan logika perjalanan Nabi. Namun Sayyidina Abu Bakar menegaskan keyakinannya bahwa ia percaya pada segala hal yang disampaikan Rasulullah, bahkan pada kabar-kabar yang lebih mengherankan seperti Mi’raj.
نَعَمْ، اِنِّي لَأُصَدِّقُهُ فَيْمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ أُصَدِّقُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فِي غَدْوَةٍ وَرَوْحَةٍ
Artinya, “Iya aku membenarkannya, bahkan kabar yang lebih dari pada itu (Mi’raj), aku akan membenarkannya perihal wahyu yang ia terima dari langit di pagi atau pun sore hari.”
Reaksi Sayyidina Abu Bakar ini menunjukkan betapa tinggi kualitas keimanannya. Saat sahabat-sahabat lainnya banyak yang ingkar, ia justru menjadi orang pertama yang membenarkan Nabi. Dari situ, ia mendapatkan gelar “as-Siddiq” (orang yang paling benar), karena tingkat kepercayaannya kepada Rasulullah tidak memerlukan bukti apapun.
Semoga kisah ini dapat menjadi teladan bagi kita semua dalam meneladani iman dan loyalitas Abu Bakar kepada ajaran Islam.