Kota Damaskus, ibu kota Suriah, dikenal sebagai salah satu kota tertua yang masih dihuni di dunia. Nama “Damaskus” berasal dari bahasa Suriah kuno yang berarti “kota yang dialiri air.” Dalam sejarahnya, Damaskus memiliki peran penting dalam Imperium Romawi, di mana penaklukannya menjadi tantangan besar karena dikelilingi oleh tembok sepanjang sekitar 1600 meter dan parit berisi air. Rasulullah Muhammad SAW pernah menyebutkan kota ini sebagai tempat pengungsian umat Islam di akhir zaman setelah terjadinya perang besar.
Rasulullah bersabda, “Kemah umat Islam di hari peperangan yang besar adalah di sekitar kota yang disebut dengan Damaskus, salah satu kota terbaik di kawasan Syam,” (HR Thabrani).
Kisah pembebasan Kota Damaskus dimulai dari strategi Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menghadapi perlawanan Imperium Romawi yang memiliki jumlah prajurit sangat banyak. Untuk mengatasi hal ini, Khalifah Abu Bakar memecah konsentrasi musuh dengan menyerang beberapa kawasan penting secara bersamaan. Strategi ini membuat Raja Heraklius dari Imperium Romawi kebingungan dalam menyusun taktiknya.
Setelah serangkaian kemenangan yang diraih umat Islam, Khalifah Abu Bakar wafat sebelum pembebasan Damaskus. Umar bin Khattab kemudian mengambil alih kepemimpinan. Para prajurit Islam berkumpul di Damaskus setelah meraih kemenangan di berbagai daerah. Mereka mengepung kota ini dari beberapa gerbang, termasuk gerbang al-Jabiyah, gerbang timur, gerbang Tuma, gerbang al-Shaghir, dan gerbang al-Faradis. Abu Darda’ dan pasukannya juga berjaga di Barzeh untuk menahan bala bantuan dari Imperium Romawi.
Nisthas bin Nasthuras, penguasa Kota Damaskus, meminta bantuan kepada Raja Heraklius di Homs. Namun, bantuan tersebut tidak kunjung datang karena Imperium Romawi mengalami kerugian besar akibat serangan umat Islam.
Khalid bin Walid, menyadari bahwa orang-orang Nasrani telah lama ditindas, menuliskan perjanjian untuk mendapatkan simpati penduduk Damaskus. Dalam perjanjian itu, ia menjanjikan keamanan bagi jiwa, harta, dan gereja penduduk jika mereka setuju untuk membayar pajak.
Pasukan umat Islam menunggu dengan sabar hingga satu malam ketika Nisthas mengadakan perayaan kelahiran anaknya. Perayaan yang meriah itu membuat pertahanan kota lemah. Mendengar kabar tersebut dari seorang pendeta Nasrani, Khalid bin Walid mengambil kesempatan untuk menyelinap masuk ke kota dengan memanjat tembok. Ia membuka pintu gerbang timur sehingga pasukan Islam dapat masuk.
Ketika pasukan Islam menyerbu Damaskus, penduduk yang sedang terlena tidak dapat melawan. Akhirnya, mereka memilih berakad damai dengan pasukan Islam tanpa terjadi pertempuran. Umat Islam meminta bagian barat Gereja Yohanes Sang Pembaptis sebagai masjid, sedangkan bagian lainnya tetap digunakan sebagai tempat ibadah bagi umat Nasrani. Masjid tersebut kini dikenal sebagai Masjid Umawi, salah satu masjid terbesar di Suriah.
Gereja tempat Khalid bin Walid menginap sebelum pembebasan dikenal sebagai Gereja Khalid bin Walid, menunjukkan bahwa ia dihormati oleh umat Nasrani yang dibebaskan dari penindasan Imperium Romawi. Sebanyak empat belas gereja lain juga tetap dilestarikan oleh umat Islam. Pembebasan Kota Damaskus terjadi pada tanggal 15 Rajab tahun 15 Hijriah atau 3 September 635 Masehi setelah pengepungan selama sekitar 40 hari.
Kota Damaskus juga disebut dalam hadis sebagai lokasi di mana Nabi Isa akan turun di akhir zaman. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun di menara putih di timur Kota Damaskus.
Beberapa pelajaran penting dapat diambil dari sejarah ini:
- Peperangan dilakukan oleh para sahabat Nabi semata-mata untuk tujuan dakwah, bukan untuk menyebarkan kebencian.
- Hidup rukun dengan pemeluk agama lain merupakan ajaran Rasulullah SAW yang terbukti dalam pembebasan Damaskus secara damai.
- Pembangunan masjid berdekatan dengan tempat ibadah pemeluk agama lain adalah hal yang biasa sejak zaman sahabat Nabi.
- Menepati janji adalah akhlak seorang beriman, seperti yang ditunjukkan oleh Khalid bin Walid kepada umat Nasrani di Damaskus.