Kisah Firaun dan nasib tragis yang menimpanya di penghujung hidupnya diceritakan dalam Al-Quran sebagai pelajaran bagi orang-orang yang takut akan ancaman, hukuman, dan balasan Allah. Kisah ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak pernah ingkar janji terhadap hamba-hamba-Nya yang taat dan tidak pernah menghukum hamba-hamba-Nya yang berbuat maksiat kecuali dengan keadilan-Nya.
Firaun, yang digambarkan dalam surat Yunus ayat 75-92, adalah penguasa Mesir yang zalim dan sombong. Kesombongannya terlihat saat ia diseru oleh Nabi Musa dan Harun untuk menerima tanda-tanda kebesaran Allah, mengakui risalah keduanya, serta beribadah kepada-Nya. Namun, alih-alih menerima risalah tersebut, Firaun dan para pembesar kaumnya malah menuduh Musa dan Harun sebagai penyihir. Firaun bahkan mendatangkan para penyihir untuk menantang mereka dengan sihir-sihir andalan.
Sebagai penguasa tiran, Firaun menciptakan suasana ketakutan di kalangan rakyatnya sehingga hanya sedikit yang berani beriman kepada Musa, dan itu pun disertai dengan rasa takut akan siksaan Firaun. Dalam Al-Quran disebutkan, “Tidak ada yang beriman kepada Musa selain keturunan dari kaumnya disertai ketakutan pada Fir‘aun dan para pemuka kaumnya yang akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir‘aun benar-benar sewenang-wenang di bumi.” (QS. Yunus [10]: 83).
Firaun juga terkenal mementingkan kekayaan duniawi dan perhiasan. Akibatnya, ia menyesatkan kaumnya dari jalan Allah, yang menyebabkan kebinasaan dan terkuncinya hati mereka. Puncak kesombongan Firaun tercatat dalam Al-Quran ketika ia mengaku sebagai tuhan, “Aku adalah tuhan kalian yang paling tinggi.” (QS. an-Nazi’at [79]: 24).
Firaun membagi rakyatnya menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah dikuasai. Ia tidak ragu menyiksa siapa pun yang menentang perintahnya, termasuk Siti Asiah, istrinya yang beriman kepada Allah. Kebiadaban Firaun semakin terlihat ketika ia mendengar ramalan bahwa akan lahir seorang anak laki-laki yang akan menghancurkan kekuasaannya. Ia kemudian memerintahkan untuk membunuh anak-anak Bani Israil tanpa ampun.
Namun, anak yang dikhawatirkan itu adalah Musa, yang diselamatkan Allah dengan mengilhami ibunya untuk meletakkan bayi Musa ke dalam tabut dan melemparkannya ke sungai Nil. Bayi itu kemudian ditemukan oleh istri Firaun dan dibesarkan di istana, sementara ibunya kembali bisa menyusuinya.
Di penghujung hidupnya, Firaun tenggelam di Laut Merah saat mengejar Nabi Musa dan kaum Bani Israil. Menjelang kematiannya, ia akhirnya berserah diri dan mengakui Tuhan yang diimani oleh Bani Israil dengan berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan selain (Tuhan) yang telah dipercayai oleh Bani Israil.” (QS. Yunus [10]: 90). Namun, dalam hadits riwayat at-Tirmidzi, diceritakan bahwa Firaun hampir mengucapkan kalimat tauhid tetapi gagal karena malaikat Jibril menjejali mulutnya dengan lumpur laut.
Allah pun berkehendak untuk menyelamatkan jasad Firaun sebagai pelajaran bagi orang-orang setelahnya. Hingga kini, jasadnya masih tersimpan di Museum Kairo Mesir sebagai penanda sejarah. Menurut para ahli, Firaun ini merupakan Amenhotep I yang hidup sekitar 3.500 tahun lalu. Meskipun demikian, banyak orang masih lengah dalam mengambil pelajaran dari peristiwa ini.