Saat mengunjungi Yordania, salah satu tempat bersejarah yang pasti dikunjungi adalah kawasan Mu’tah. Di sini, umat Islam mencatatkan kemenangan melawan ratusan ribu tentara Romawi yang dikenal kejam. Strategi cerdas Khalid bin Walid menjadi kunci dalam kemenangan bersejarah ini.
Kisah ini bermula ketika al-Harits bin ‘Umair al-Azdi diutus oleh Rasulullah untuk menyampaikan seruan dakwah kepada raja kota Bushra di Suriah. Dalam perjalanan menuju tujuan, al-Harits disergap oleh Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani dan pasukannya.
“Mau pergi ke mana?” tanya Syurahbil dengan nada menantang.
“Aku ingin pergi ke Suriah,” jawab al-Harits dengan tegas.
“Jangan-jangan kamu utusan Muhammad,” cecar Syurahbil.
“Benar, aku utusan Rasulullah,” jawab al-Harits mantap. Sayangnya, Syurahbil kemudian menyekap dan memenggal kepala al-Harits.
Kabar kematian al-Harits sampai ke Madinah dan memicu kemarahan para sahabat. Setelah shalat dzuhur berjamaah, Rasulullah mengumpulkan sahabat-sahabat dan menunjuk pemimpin perang, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Rasulullah berpesan kepada mereka yang akan berperang, “Berperanglah di jalan Allah. Jangan ganggu orang-orang yang beribadah di kuil mereka, jangan bunuh perempuan, anak-anak, dan orang tua. Jangan rusak pepohonan dan rumah-rumah mereka.”
Sebanyak 300 umat Islam berangkat ke medan perang dengan semangat yang tinggi. Namun, Heraklius, Raja Romawi, merasa terancam dan mengumpulkan seratus ribu prajurit dari berbagai daerah serta mendapatkan bantuan seratus ribu prajurit dari suku-suku Nasrani di sekitar jazirah Arab.
Kondisi ini membuat sebagian prajurit Islam merasa cemas dan mengusulkan untuk mengabarkan jumlah musuh kepada Rasulullah. Namun Abdullah bin Rawahah menegaskan bahwa jumlah musuh tidaklah menentukan kemenangan, melainkan keyakinan terhadap agama yang mereka anut. Ia menyemangati para prajurit dengan mengatakan bahwa jika mereka menang, itu adalah janji Allah dan Rasul-Nya, dan jika kalah, mereka akan bertemu teman-teman mereka di surga.
Peperangan berlangsung sengit. Zaid bin Haritsah jatuh sebagai syahid dengan banyak anak panah menembus tubuhnya. Ja’far bin Abi Thalib mengambil bendera perang dari Zaid dan maju dengan semangat sambil melantunkan syair tentang keindahan surga. Namun, kedua tangannya putus karena tebasan musuh, tetapi Ja’far tetap mempertahankan bendera hingga ia syahid. Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap di surga.
Abdullah bin Rawahah kemudian mengambil alih bendera perang dan melantunkan syair yang menggugah semangat. Sayangnya, ia juga terbunuh dalam pertempuran itu.
Rasulullah menceritakan jalannya perang Mu’tah dari Madinah tanpa ada kabar yang sampai kepada penduduk saat itu. Ia memberi tahu tentang nasib Zaid, Ja’far, dan Abdullah sebelum kabar mereka sampai ke Madinah.
Setelah itu, Tsabit bin Aqwam mengambil alih bendera perang dan meminta umat Islam untuk bermusyawarah mengenai pemimpin baru. Semua prajurit bersaing untuk membawa bendera perang, hingga akhirnya bendera diberikan kepada Khalid bin Walid.
Pertempuran terpaksa dihentikan ketika malam tiba. Keesokan harinya, Khalid bin Walid menerapkan strategi baru dengan mengubah posisi pasukan sehingga musuh mengira bala bantuan datang. Strategi ini berhasil mengelabui pasukan Romawi dan akhirnya umat Islam meraih kemenangan.
Dari kisah bersejarah ini, terdapat beberapa hikmah penting:
- Semangat pantang menyerah dalam menjunjung tinggi agama Allah akan mendapatkan pertolongan dari-Nya.
- Pentingnya mengubah strategi dalam menghadapi masalah hidup.
- Perlunya mempersiapkan beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan.
- Dalam kondisi genting, kita tidak boleh mengganggu umat beragama lain di tempat ibadah mereka sesuai nasihat Rasulullah.