Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafâtîḫul Ghaib menyampaikan 29 argumen untuk menunjukkan bahwa Rasulullah saw adalah nabi paling mulia di antara 124.000 nabi dan 313 rasul yang diutus oleh Allah ke bumi. Setelah memaparkan argumennya, ar-Razi juga memberikan sanggahan ilustratif terhadap pendapatnya sendiri.
Dalam sanggahan tersebut, ia menyebutkan tiga argumen yang dapat digunakan untuk membantah klaim bahwa Nabi Muhammad adalah yang paling mulia. Pertama, Nabi Muhammad tidak mendapatkan penghormatan yang diberikan kepada Nabi Adam, yaitu ketika para malaikat sujud kepadanya.
Kedua, banyak mukjizat yang dimiliki oleh nabi-nabi lain, tetapi Nabi Muhammad tidak memiliki mukjizat seperti yang dimiliki Nabi Ibrahim, yang tidak terluka ketika dilemparkan ke dalam api, atau Nabi Dawud yang dapat melunakkan besi dengan tangan kosong, serta Nabi Sulaiman yang menundukkan makhluk-makhluk di bumi. Selain itu, Nabi Isa mampu berbicara saat masih bayi, menghidupkan orang mati, dan menyembuhkan orang buta dan tuli. Mukjizat-mukjizat ini tidak dimiliki oleh Nabi Muhammad. Dengan demikian, bagaimana mungkin putra Abdullah ini bisa dianggap sebagai nabi paling mulia?
Ketiga, terdapat penegasan dari Rasulullah sendiri yang melarang membandingkan satu nabi dengan yang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan:
لا تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأنْبِياءِ
Artinya, “Janganlah kalian pilih-pilih di antara para nabi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadits ini, nampak bahwa Nabi melarang membandingkan satu nabi dengan yang lainnya.
Namun, argumen-argumen tersebut hanya ilustrasi dari ar-Razi dan biasa disampaikan dalam paparan-paparannya. Untuk mengcounter argumen-argumen imajinatif yang sengaja disajikan untuk dikritik, ia juga menyampaikan sanggahan-sanggahannya untuk tetap berpegang pada pendapat bahwa Rasulullah saw adalah nabi paling mulia.
Sanggahan Pertama Allah swt memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam, tetapi Dia juga memerintahkan malaikat untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad. Jika sujud tersebut merupakan bentuk penghormatan, maka shalawat adalah bentuk ibadah. Ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad lebih mulia dibanding Nabi Adam. Selain itu, perintah shalawat kepada Nabi Muhammad berlaku selamanya hingga hari kiamat, sementara perintah sujud hanya berlaku sekali saja. Sujud kepada Nabi Adam dilakukan oleh malaikat, sedangkan shalawat dilakukan oleh Allah sendiri, para malaikat, dan seluruh umat Muslim. Para malaikat sujud kepada Nabi Adam karena adanya cahaya Nabi Muhammad dalam diri Adam. Oleh karena itu, sujud penghormatan ini sebenarnya ditujukan untuk Nabi Muhammad.
Sanggahan Kedua Alasan mengapa Nabi Muhammad tidak memiliki mukjizat seperti nabi-nabi sebelumnya karena mukjizat bersifat kontekstual. Misalnya, Nabi Musa diutus di tengah umat yang banyak memiliki kemampuan sihir, sehingga diberikan mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular. Nabi Isa diutus di tengah umat yang ahli dalam bidang pengobatan, sehingga diberikan mukjizat dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan menghidupkan orang mati.
Begitu juga dengan Nabi Muhammad, ia diutus di tengah umat yang memiliki kemampuan sastra yang tinggi, sehingga diberikan mukjizat berupa kitab suci Al-Qur’an. Mukjizat nabi-nabi lain bersifat temporal, sedangkan Al-Qur’an tetap abadi hingga hari kiamat. Dengan demikian, dari sisi mukjizat, Nabi Muhammad tetap lebih mulia dibanding nabi-nabi lainnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا قَدْ أُعْطِيَ مِنْ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Setiap nabi telah diberikan mukjizat sehingga manusia bisa mengimaninya. Mukjizat yang telah Allah berikan kepadaku adalah wahyu (Al-Qur’an). Oleh karena itu, aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” (HR Muslim).
Sanggahan Ketiga Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai larangan Rasulullah untuk membandingkan satu nabi dengan nabi lainnya tidak bertentangan dengan beberapa hadits lain yang menunjukkan bahwa beliau adalah nabi paling mulia. Menurut Syekh Badruddin al-‘Aini, ada beberapa alasan mengapa sabda tersebut disampaikan. Pertama, saat itu Nabi belum mengetahui bahwa dirinya adalah nabi paling mulia. Kedua, larangan tersebut bertujuan agar umat Muslim tidak melebih-lebihkan satu nabi hingga merendahkan nabi lainnya, karena merendahkan nabi berarti kafir. Ketiga, larangan ini bertujuan untuk mencegah perdebatan yang dapat menimbulkan permusuhan antar umat. Keempat, sabda ini disampaikan sebagai bentuk kerendahan hati (tawadhu) dari Nabi.
Dengan demikian, meskipun terdapat argumen penolakan terhadap kedudukan Nabi Muhammad sebagai nabi paling mulia, terdapat pula sanggahan yang mendukung posisi tersebut dengan berbagai alasan dan bukti yang kuat.