- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Keistimewaan Ulama dalam Mewarisi Ilmu dan Akhlak Nabi

Google Search Widget

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat menjadi rujukan utama umat dalam berbagai urusan, baik yang berkaitan dengan agama, politik, maupun sosial. Ketika para sahabat tidak lagi ada, generasi selanjutnya yang muncul adalah tabi’in, yang sering disebut sebagai generasi salaf atau salafus shalih. Diikuti oleh ulama mutaqaddimin, mereka semua mendapat pengakuan langsung dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Dalam bukunya “Secercah Tinta,” Habib Luthfi bin Yahya menyampaikan bahwa Rasulullah memberikan predikat kepada generasi berikutnya dengan menyebut mereka sebagai ulama’i ka an-nabi bani Isra’il (ulama dari kalangan umatku seperti para Nabi di kalangan Bani Israil). Pernyataan ini menegaskan keistimewaan ulama dari kalangan umat Nabi SAW yang setara dengan Nabi di kalangan Bani Israil. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi umat Nabi Muhammad untuk tidak mengikuti ulama yang merupakan pewaris para Nabi (al-ulama waratsatul anbiya).

Kriteria ulama yang seharusnya diikuti adalah mereka yang mewarisi akhlak Nabi Muhammad dan dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik melalui ilmu yang dimiliki. Ulama harus mampu hidup berdampingan dengan sesama makhluk Allah SWT dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Istilah ulama merujuk kepada individu yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu agama, berakhlak baik, dan menjadi teladan bagi masyarakat. Sifat-sifat mulia lainnya juga melengkapi karakter seorang ulama. Mereka mengisi sendi-sendi kehidupan dengan tindakan positif yang membawa dampak kebaikan secara luas. Keberadaan ulama seharusnya mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwah mereka bersifat merangkul, bukan memukul; mengajak, bukan mengejek.

Dalam sebuah hadits riwayat Ad-Dailami dari Anas r.a, Rasulullah SAW bersabda: “Ittabi’ul ulama’a fainnahum suruuhud dunyaa wamashaa biihul akhirah.” Artinya, “Ikutilah para ulama karena sesungguhnya mereka adalah pelita-pelita dunia dan lampu-lampu akhirat.” Hadits ini semakin memperkuat pengakuan Rasulullah terhadap kedudukan para ulama.

Namun, saat ini masih ada sebagian masyarakat yang terjebak pada simbol-simbol agama yang melekat pada pakaian. Akibatnya, meskipun seseorang tidak berilmu dan perilaku serta ucapannya tidak mencerminkan akhlak mulia, ia sering kali dianggap sebagai sosok yang paham agama dan diikuti.

Keistimewaan ulama yang layak diikuti juga banyak diungkapkan dalam berbagai hadits, salah satunya adalah hadits yang berbunyi: “Man shafahani aw shafaha man shafahani ila yaumil qiyamah dakhalal jannah.” Artinya, “Barang siapa yang bersalaman denganku atau bersalaman dengan orang yang bersalaman denganku hingga hari kiamat, maka ia masuk surga.” Hadits ini dikenal sebagai hadits musalsal bil mushafahah al-mamariyah, yang menunjukkan betapa pentingnya hubungan antara ulama dan umat di dalam menjalani kehidupan yang penuh berkah.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?