Menghadirkan nama Allah SWT dalam setiap ikhtiar lahir menjadi esensial, seperti tercermin dalam kisah Nabi Musa yang berusaha mengobati penyakitnya. Dalam penjelasan mengenai surah Al-Fatihah, terdapat riwayat menarik yang menggambarkan aspek spiritual dari kalimat bismillah.
Suatu ketika, Nabi Musa merasakan sakit di perutnya dan mengadu kepada Allah. Allah memerintahkan beliau untuk mengambil sejenis daun di padang pasir. Setelah mengunyah daun tersebut, Nabi Musa pun sembuh dengan izin Allah. Namun, ketika mengalami masalah perut yang sama, beliau langsung mengunyah daun itu tanpa meminta petunjuk dan izin Allah. Akibatnya, sakitnya malah semakin parah.
Nabi Musa mengeluh, “Ya Rabb, pada kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Namun, kali kedua tidak hanya tidak sembuh, tetapi malah bertambah parah.” Allah menjawab: “Kali pertama kamu datang kepada-Ku memohon kesembuhan. Pada kali kedua, kamu langsung mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”
Kisah ini menunjukkan bahwa setiap tindakan memerlukan pendidikan batin dengan tetap berdoa kepada Allah, meskipun tindakan tersebut terlihat biasa. Oleh karena itu, penting untuk memohon ridha Allah dalam setiap amal kebaikan yang kita lakukan.
Pandangan keagamaan terhadap wabah juga menunjukkan beragam pemikiran. Dalam sejarah Islam, terdapat tokoh bernama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib yang hidup pada abad ke-14. Ia merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan ‘Teori Contagion’. Dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan berdasarkan pengamatan terhadap wabah Black Death di Eropa dan Andalusia, Ibn al-Khatib menolak pandangan ulama konservatif yang menyerahkan segalanya kepada takdir Allah dalam menghadapi penyakit menular. Baginya, penyebab wabah harus dibuktikan melalui data dan penelitian.
Dua corak pemikiran ini saling berseberangan: satu berlandaskan pada teologi dan fiqih, sementara yang lain terbuka terhadap kajian empirik berdasarkan bukti.
Kisah lain yang patut direnungkan adalah peristiwa di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahannya, terjadi wabah di Awamas, sebuah kota dekat Yerusalem. Wabah ini menyebar hingga ke Syam dan Irak, menyebabkan kepanikan massal. Ketika disarankan untuk mundur, Umar menjawab bahwa dia dan pasukannya lari dari takdir Allah yang buruk menuju takdir Allah yang baik.
Sahabat Abdurrahman bin ‘Auf mengingatkan akan sabda Nabi Muhammad SAW: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Sebaliknya, jika kalian berada di dalam negeri tersebut ketika wabah melanda, janganlah kalian lari keluar.”
Wabah ini akhirnya berhenti saat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr berhasil menyelamatkan Syam dari wabah. Ia berkata kepada masyarakat, “Penyakit ini menyebar seperti kobaran api. Maka berlindunglah dari penyakit ini ke bukit-bukit!” Warga pun mengikuti anjurannya, dan dengan bertahan di dataran tinggi, mereka berhasil meredakan wabah tersebut hingga hilang sepenuhnya.