Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa agama adalah nasihat. Kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam setiap ajaran agama seharusnya mendorong umat manusia untuk saling menasihati dalam kebaikan. Namun, beliau juga memberikan teladan bahwa nasihat tidak seharusnya dilakukan terlalu sering, agar tidak membuat seseorang merasa bosan dan mengurangi kualitas dari nasihat itu sendiri.
Dalam konteks ini, KH Zakky Mubarak (2021) menyampaikan kisah tentang salah seorang sahabat senior Nabi Muhammad, Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud yang dikenal luas karena meriwayatkan banyak hadits shahih memiliki tradisi memberikan nasihat kepada para jamaahnya hanya satu hari dalam seminggu, yaitu setiap hari Kamis.
Suatu ketika, ada seorang jamaah yang sangat antusias dalam mencari nasihat dan meminta kepada Ibnu Mas’ud agar memberikan nasihat setiap hari. Menanggapi permintaan jamaah tersebut, Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa ia tidak keberatan untuk memberikan nasihat setiap hari. Namun, ia khawatir jika jamaah akan merasa bosan.
Ibnu Mas’ud dengan bijak memilih untuk memberikan ceramah dengan frekuensi yang jarang, mengikuti contoh Rasulullah SAW yang juga khawatir jika para sahabatnya merasa bosan menerima nasihat (HR. Muslim). Kisah ini menegaskan bahwa orang yang sering mengobral nasihat cenderung banyak bicara dan kurang baik.
KH Zakky Mubarak juga mengutip salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Yaqdzan, Amr bin Yasr ra:
فَقَالَ أَبُوْ يَقْظَانَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، (رواه مسلم)
Abu Yaqdzan ra berkata bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Panjang shalat seseorang dan singkatnya khotbah menunjukkan kecerdasannya dan kedalaman ilmunya. Maka panjangkanlah shalatmu dan persingkatlah khutbahmu” (HR. Muslim Nomor 869).
Rasulullah SAW dalam banyak riwayat dijelaskan selalu memberikan nasihat dengan lemah lembut, tanpa pernah memukul, membentak, atau memaki sahabat-sahabatnya. Hal ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an bahwa dakwah, ceramah, dan nasihat harus dilakukan dengan sikap yang mengedepankan kebijaksanaan.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berbantahlah dengan mereka secara baik” (QS. An-Nahl: 125).
Sosok Nabi Muhammad SAW bisa dilihat sebagai representasi dari nasihat itu sendiri karena kemuliaan dan keluhuran akhlaknya. Habib Luthfi bin Yahya dalam buku Secercah Tinta (2012) mengungkapkan tiga penopang keberhasilan dakwah Nabi Muhammad yang diambil dari sebuah ayat Al-Qur’an:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS At-Taubah: 128).
Tiga sifat tersebut adalah:
- Azizun ‘alaih ma’anittum: Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad senantiasa memikirkan umatnya dan tidak ingin umatnya menderita di hari kemudian.
- Harishun ‘alaikum: Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu. Ini merupakan ungkapan cinta dan kasih sayang Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.
- Bil mu’minina raufur rahim: Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Beliau memiliki rasa kasih sayang yang mendalam terhadap kaum beriman.
Ketiga sifat inilah yang menjadi fondasi keberhasilan nasihat dan dakwah Nabi Muhammad. Akhlak mulia, cinta, dan kasih sayang yang tercermin dalam penjelasan ayat di atas menjadi dasar bagi dakwah Nabi dengan mengedepankan akhlakul karimah serta harapan besar beliau kepada umatnya.
