Khalifah Abu Bakar pernah menyampaikan wasiat kepada putri tercintanya, Sayyidah Aisyah, ketika beliau merasa ajalnya semakin dekat. Dalam wasiatnya, beliau menegaskan bahwa harta yang tersisa hanyalah seekor unta, seorang pelayan, dan sehelai permadani usang, yang semua itu harus diserahkan kepada Umar bin Khattab setelah beliau wafat. Abu Bakar ingin menghadap Allah tanpa menyisakan harta kaum Muslimin, meskipun dalam jumlah yang sedikit.
Setelah dua tahun memimpin kaum Muslimin di tengah tantangan besar sebagai pengganti Rasulullah SAW, Abu Bakar akhirnya wafat pada 23 Agustus 634 Masehi. Meskipun masa kepemimpinannya singkat, beliau meninggalkan jejak penting dalam sejarah awal Islam.
Di zaman sekarang, sosok pemimpin yang menjunjung tinggi prinsip seperti Sayidina Abu Bakar sangat langka. Beliau dikenal sebagai ash-shiddiq karena kebenaran dan kejujurannya dalam mengemban amanat serta tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.
Selama masa kepemimpinannya, Abu Bakar selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Hidupnya sederhana, dan ia tidak pernah memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Dalam konteks ini, idealisme seperti yang dimiliki Sayidina Abu Bakar seharusnya menjadi panutan bagi para pemimpin hari ini, terutama dalam pengelolaan negara dan birokrasi.
Namun, kenyataan yang terjadi seringkali menunjukkan praktik oligarki kekuasaan. Banyak individu yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri ketimbang kesejahteraan masyarakat luas. Tujuan utama pengelolaan negara yang seharusnya berfokus pada kesejahteraan rakyat sering kali disalahgunakan untuk menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.
Fenomena ini dapat dilihat dalam pengelolaan ibu kota negara, Jakarta. Contohnya, kursi wakil gubernur dibiarkan kosong selama lebih dari satu tahun, padahal perannya sangat krusial untuk melayani masyarakat. Ketidakmampuan partai pengusung untuk mencapai kesepakatan politik justru merugikan masyarakat yang menjadi korban dari ambisi kekuasaan kelompok tertentu.
Di tingkat lebih luas, praktik oligarki juga terlihat dalam pengelolaan negara. Dengan paradigma Machiavellian, banyak pemerintah menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan otoritasnya melalui berbagai instrumen, seperti modal, media, dan legitimasi institusi.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai kepemimpinan yang diajarkan oleh pemimpin seperti Abu Bakar. Menjunjung tinggi amanah dan mengutamakan kepentingan masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama bagi setiap pemimpin di Indonesia.