Sebelum membahas suasana politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, perlu dipahami latar belakang kondisi politik pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang menjadi tantangan besar bagi penerusnya. Utsman bin Affan menjabat sebagai kepala negara selama dua belas tahun, dengan enam tahun awal yang cukup stabil. Karakter Utsman yang lembut dan bersahabat menarik perhatian rakyat, tanpa ada tanda-tanda ketidaksukaan terhadap kepemimpinannya.
Namun, enam tahun terakhir pemerintahannya menunjukkan kemunduran. Utsman dianggap lamban dan tidak tegas dalam menjalankan pemerintahan, enggan memecat pejabat-pejabat yang tidak kompeten dan terlibat praktik nepotisme dengan mengangkat kerabatnya ke posisi strategis. Ia juga memberikan harta Baitul Mal kepada keluarganya, yang menimbulkan instabilitas politik dan ketidakpuasan di kalangan sahabat.
Puncaknya, Utsman dibunuh oleh dua pemberontak pada Jumat, 18 Dzulhijjah tahun 35 H. Ia dimakamkan di Baqi’ dan menjadi orang pertama yang dimakamkan di sana, tempat yang kelak menjadi lokasi pemakaman banyak keluarga Nabi.
Kondisi politik yang kacau mendorong masyarakat untuk segera mengangkat pemimpin baru. Ali bin Abi Thalib meminta untuk dibaiat sebagai pengganti Utsman. Ali merasa tidak layak menerima tawaran itu, menyatakan bahwa ia lebih cocok sebagai menteri daripada kepala negara. Namun, setelah berkonsultasi dengan sahabat-sahabatnya, ia akhirnya dibaiat sebagai khalifah.
Terdapat penolakan dari beberapa sahabat, termasuk Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam, yang enggan membaiat Ali. Muawiyah menuntut Ali untuk segera menuntut balas atas kematian Utsman dan menolak pencopotan jabatannya sebagai gubernur. Ketidakcocokan ini memicu konflik yang berujung pada Perang Shiffin pada bulan Shafar tahun 37 H, membelah umat menjadi tiga kelompok: pengikut Ali (Syi’ah), pengikut Muawiyah, dan kelompok Khawarij.
Konflik ini berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun kelima kekhalifahannya oleh Ibnu Muljam, salah satu pengikut Khawarij. Dalam situasi politik yang panas ini, muncul pertanyaan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Kenapa sahabat Nabi bisa berperang satu sama lain? Apakah ini mencoreng citra sahabat sebagai generasi terbaik?
Penting untuk tetap berperasangka baik kepada kedua pihak. Rasulullah saw pernah bersabda agar kita tidak mencela para sahabatnya. Meski ada perbedaan ijtihad antara Ali dan Muawiyah terkait tuntutan balas atas kematian Utsman, keduanya tetap dihormati. Ijtihad Ali dinilai lebih bijak dengan mempertimbangkan kondisi negara yang tidak stabil dan identitas pembunuh Utsman yang belum jelas.
Sikap Muawiyah dan Ali saling berhadap-hadapan, memicu ketegangan yang akhirnya menjelma menjadi peperangan. Imam An-Nawawi menegaskan bahwa pertumpahan darah antara sahabat tidak masuk dalam ancaman hadits mengenai pertemuan dua Muslim yang saling membunuh. Dalam mazhab Ahlusunnah, ijtihad Ali dianggap benar, sementara Muawiyah dimaafkan atas kesalahannya dalam berijtihad.
Dengan demikian, peristiwa ini mengajarkan kita untuk tetap berperasangka baik dan menghormati para sahabat, meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.