Islam sebagai agama yang komprehensif tidak hanya menekankan pada ritual ibadah, tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari ibadah, transaksi (muamalah), hingga interaksi sosial. Dalam ajaran Islam, terdapat tiga aspek penting: syariat, yang berfungsi untuk menilai perilaku manusia; aqidah, untuk menilai keyakinan; dan akhlak, untuk menilai budi pekerti manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Fokus pembahasan kali ini adalah akhlak, khususnya jejak akhlak Rasulullah saw.
Pembahasan akhlak tidak terlepas dari perkembangan Islam di awal dakwah Rasulullah kepada umat manusia. Saat itu, Islam muncul dengan semangat revolusi yang mengedepankan moralitas dan nilai kemanusiaan. Akhlak menjadi fondasi yang membuat Islam dihormati dan diterima oleh banyak orang.
Rasulullah membawa misi untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Artinya, “Sesungguhnya, aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR Ahmad). Hadits ini menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad lahir sebagai pembawa Islam yang penuh rahmat dan perbaikan akhlak. Peradaban terus berkembang, menjadikan Islam sebagai agama yang diminati. Kendati ada penolakan dari sebagian kalangan, hal itu bukan karena ketidaksenangan terhadap akhlak Rasulullah, melainkan karena fanatisme terhadap keyakinan sebelumnya atau kepentingan yang terganggu.
Dengan akhlak yang mulia, keberadaan Rasulullah menjadi kebanggaan bagi masyarakat Arab. Penyebaran Islam pun menjadi lebih mudah, karena orang-orang merasa nyaman untuk mengungkapkan niat masuk Islam. Allah swt memuji Rasulullah dalam Al-Qur’an:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al-Qalam: 4). Dari dalil ini, kita memahami bahwa Rasulullah saw adalah teladan umat Islam yang memiliki akhlak mulia yang seimbang antara hak-hak Allah swt dan penghargaan terhadap sesama.
Bagaimana potret akhlak mulia Rasulullah? Salah satu riwayat dari Sayyidah Siti Aisyah menggambarkan pribadi beliau:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ خُلُقِ رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَتْ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا، وَلَا صَخَّابًا فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ
Artinya, “Aku (Abdullah al-Jadali) bertanya kepada Sayyidah Aisyah tentang akhlak Rasulullah, maka Siti Aisyah menjawab, Rasulullah bukanlah pribadi yang keji dan berbuat keji. Ia tidak pernah berteriak di pasar, ia juga tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi memaafkan dan berlapang dada.” (HR Tirmidzi).
Keindahan akhlak dan budi pekerti Rasulullah juga dirasakan oleh masyarakat Arab saat pemugaran Ka’bah. Ketika terjadi pertikaian mengenai siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, semua kabilah saling menginginkan posisi tersebut. Pertentangan semakin memanas hingga hampir terjadi pertumpahan darah di Masjidil Haram. Namun, Abu Umayyah bin al-Mughirah mengusulkan agar keputusan diserahkan kepada orang pertama yang masuk masjid.
Ternyata orang pertama yang masuk adalah Rasulullah Muhammad saw. Mereka segera berseru bahwa dia adalah al-amin (dapat dipercaya), dan mereka rela jika dia yang meletakkan Hajar Aswad. Kisah ini menunjukkan bahwa akhlak mulia dapat meredakan konflik dan menciptakan kesepakatan.
Akhlak mulia adalah kunci keberhasilan dakwah Nabi. Keindahan akhlak Rasulullah seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam dalam menyampaikan dakwah. Islam sangat menjunjung tinggi moralitas. Dalam konteks ini, moralitas adalah representasi dari firman Allah swt bahwa diutusnya Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya’: 107). Rahmat ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tentang agama tidak seharusnya menjadi alat pemecah belah umat.
Menyebarkan ajaran Islam tanpa menimbulkan perpecahan hanya bisa dilakukan dengan menerapkan akhlak luhur yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Kesuksesan dakwah beliau pada periode awal penyebaran Islam sangat dipengaruhi oleh akhlak mulia dan budi pekerti luhur. Dengan cara tersebut, banyak masyarakat yang tertarik dengan ajaran yang dibawanya.