Sikap adil merupakan salah satu prinsip utama yang harus diterapkan oleh seorang pemimpin. Seluruh keputusan dan kebijakan pemimpin seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara menyeluruh, tanpa memandang kelompok, suku, agama, atau golongan. Semua masyarakat harus terlayani dengan baik. Nabi Muhammad adalah pemimpin yang menjadi teladan bagi para sahabat dan umatnya. Rasulullah saw mengajarkan bahwa para penegak keadilan dan pemimpin yang adil akan ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan yang mulia dan terpuji, hingga digambarkan berada di atas “mimbar cahaya”.
Sikap adil Nabi Muhammad dilanjutkan oleh para sahabatnya, termasuk Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar menegaskan bahwa keadilan tidak mengenal dispensasi bagi keluarga dekat maupun jauh, juga tidak terpengaruh oleh waktu sempit atau lapang. Meskipun tampak lunak, ia sebenarnya kuat dalam memadamkan api kezaliman dan memberantas kebatilan.
Kehidupan Khalifah Umar bin Khattab selalu berfokus pada kesejahteraan, keamanan, dan keadilan warganya. Suatu ketika, Umar menerima laporan bahwa putra Gubernur Mesir telah menampar seorang warga negara tanpa alasan yang jelas. Segera, Umar memanggil Gubernur Amr bin Ash untuk meminta pertanggungjawaban putranya atas tindakan sewenang-wenang tersebut.
Di hadapan Gubernur Mesir dan putranya, Khalifah Umar menunjukkan ketegasannya dengan kata-kata yang terkenal:
“Ilaa mataa ista’badtum an naasa wa qod waladathum ummahatuhum ahroron?” (Sampai kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?)
Menurut riwayat yang disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri, doktrin Umar ini menguatkan perjuangan para kiai dan ulama di Indonesia dalam mengusir penjajah. Dalam sejarahnya, para kiai dari kalangan pesantren memiliki peran sentral dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajahan.
Pesantren sering kali menjadi sorotan pihak kolonial karena dianggap mampu memobilisasi kekuatan rakyat untuk melawan. Bagi bangsa Indonesia, perlawanan terhadap penjajah adalah suatu kewajiban atas perlakuan yang tidak berperikemanusiaan.
Ketegasan Khalifah Umar kepada Amr bin Ash tidak berhenti di situ. Amr berniat membangun masjid besar di lokasi yang ditempati oleh seorang Yahudi yang tinggal di gubuk reyot. Ketika Yahudi tersebut menolak untuk pindah karena tidak memiliki tempat lain, Gubernur Amr memerintahkan untuk tetap menggusur gubuk tersebut.
KH Abdurrahman Arroisi menjelaskan bahwa Yahudi itu merasa diperlakukan tidak adil dan kemudian melapor kepada Khalifah. Ia berangkat dari Mesir menuju Madinah untuk mengadu. Dalam perjalanan, ia merasa cemas membayangkan betapa mewahnya istana Khalifah dibandingkan dengan gubernurnya. Sesampainya di Madinah, ia bertemu dengan seorang yang sedang bersantai di bawah pohon kurma.
Ketika bertanya tentang Khalifah Umar, orang tersebut menjawab bahwa istana Khalifah berada di atas lumpur, dikelilingi oleh pengawal yang adalah yatim piatu dan orang-orang miskin. Pakaian Khalifah pun sederhana. Yahudi itu terkejut dan bertanya di mana Khalifah sekarang. “Di hadapan tuan sekarang,” jawab orang itu.
Umar bertanya tentang asalnya dan keperluannya. Setelah mendengar cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash, Umar meminta Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah. Dengan pedangnya, ia menggambar garis lurus di atas tulang tersebut dan menyuruh Yahudi itu memberikannya kepada Gubernur Amr.
Setibanya di Mesir, Yahudi itu menyampaikan pesan Umar dengan memberikan tulang itu kepada Gubernur Amr. Melihat garis lurus pada tulang tersebut, Amr merasa ketakutan dan segera membatalkan penggusuran gubuk Yahudi itu. Ia menganggap pesan Umar sebagai peringatan bahwa suatu saat ia pun akan menjadi seperti tulang itu jika tidak berlaku adil.
Akhirnya, setelah menyaksikan keadilan yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab, Yahudi itu menghibahkan gubuknya untuk kepentingan pembangunan masjid dan memutuskan untuk memeluk Islam karena pengaruh keadilan yang ditunjukkan oleh Umar.