Selama menyebarkan ajaran Islam, Nabi Muhammad dan para sahabat menghadapi banyak hinaan, siksaan, dan bahkan ancaman pembunuhan. Namun, semangat dan keyakinan mereka justru semakin kuat di tengah segala rintangan tersebut.
Salah satu peristiwa penting adalah ketika mereka berusaha menuju Kota Makkah pada tahun keenam Hijriah, sekitar tahun 628 M. Meskipun Nabi Muhammad mengetahui bahwa kaum Quraisy akan menghalangi dan kemungkinan terjadinya konflik bersenjata, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Keputusan Rasulullah untuk menerima perjanjian ini dianggap tidak masuk akal oleh sebagian sahabatnya. Umar bin Khattab bahkan menolak untuk menuliskan perjanjian tersebut, karena dianggap tidak adil dan merendahkan simbol-simbol akidah Islam di tengah kekejaman kaum kafir. Pada saat itu, akidah Islam harus diperkuat di tengah tantangan yang dihadapi selama fase dakwah di Makkah.
Dalam bukunya “No God but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam,” Reza Aslan menjelaskan bahwa perjanjian ini mencakup pembatalan ibadah haji Nabi dan pengikutnya, serta penghentian semua penyerangan kafilah di sekitar Makkah. Sebagai kompensasinya, Nabi Muhammad diizinkan untuk kembali haji pada tahun berikutnya, di mana Ka’bah akan dikosongkan dari peziarah lain agar beliau dan pengikutnya dapat berhaji tanpa gangguan.
Selain itu, Nabi Muhammad diminta untuk menandatangani perjanjian tanpa menyebutkan gelar “rasul Allah,” melainkan hanya sebagai kepala suku. Hal ini membuat pengikutnya merasa kecewa, karena mereka yakin kemenangan sudah dekat. Namun, Muhammad al-Ghazali dalam “Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad” menyatakan bahwa mungkin Nabi memiliki rencana untuk menggalang kembali kekuatannya sebelum menaklukkan Makkah.
Nabi juga menjalankan mandat Ilahi dan doktrin jihad untuk menegakkan keadilan dan keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an (Q.S. 2:193). Prof KH Nasaruddin Umar dalam “Khutbah-khutbah Imam Besar” menekankan bahwa keputusan Nabi dalam perjanjian tersebut ternyata tepat, mencegah beban ekonomi bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi.
Perjanjian Hudaibiyah membuahkan hasil yang luar biasa di kemudian hari. Ini menunjukkan pentingnya menahan diri demi keuntungan jangka panjang. Dalam situasi sulit, kita sebaiknya mencontoh sikap Rasulullah yang tidak terbawa emosi dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Nabi Muhammad tidak marah untuk kepentingan pribadinya. Namun, jika ajarannya dilanggar, kemarahan beliau tidak tertahankan. Dalam riwayat yang diceritakan oleh Hindun bin Abi Halah, beliau tidak pernah marah karena urusan duniawi. Kebenaran adalah hal yang sangat dijunjung tinggi oleh beliau.
Hindun bin Abi Halah menggambarkan perilaku Nabi Muhammad yang cenderung berbicara seperlunya, lebih sering diam, dan tidak berlebihan dalam pujian atau celaan. Apabila beliau merasa takjub atau menunjuk sesuatu, beliau melakukannya dengan penuh penghayatan.
Rasulullah memilih perkara ringan jika ada dua pilihan yang tidak mengandung dosa. Jika terdapat dosa, beliau akan menjauhinya. Dengan tegas, beliau tidak marah karena urusan pribadi, melainkan ketika ajaran Allah dilanggar. Ini menunjukkan komitmen beliau terhadap kebenaran dan keadilan sebagai seorang pemimpin umat.