Wahyu yang diterima Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam merupakan fondasi dari seluruh aspek agama, keyakinan, dan berbagai hukumnya. Memahami dan meyakini wahyu adalah suatu keharusan sebelum menerima berita gaib dan perintah hukum yang disampaikan oleh Nabi. Wahyu menjadi pembeda antara manusia yang hanya mengandalkan akalnya dan mereka yang menyampaikan pesan dari Tuhan tanpa mengubah sedikit pun.
Khalwat di Gua Hira
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa permulaan wahyu yang diterima Rasulullah adalah mimpi yang baik. Setiap kali beliau bermimpi, mimpi tersebut selalu tampak jelas bagaikan sinar fajar. Beliau senang menyendiri dan beribadah di Gua Hira selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya untuk menyiapkan bekal. Suatu ketika, ketika beliau sedang berada di Gua Hira, datanglah Malaikat Jibril yang berkata, “Bacalah!” Rasulullah menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
Setelah itu, Malaikat Jibril memeluk Nabi Muhammad hingga beliau merasa payah dan kemudian melepaskannya sambil berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْأِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْأِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya, “1. Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, 4. Yang mengajar (manusia) dengan pena. 5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq: 1-5).
Peristiwa tersebut menandai awal misi besar yang akan mengubah sejarah umat manusia. Sebelum misi ini dimulai, Nabi Muhammad telah membersihkan dirinya dari segala hiruk-pikuk duniawi.
Setelah sekian lama berada di Gua Hira untuk membersihkan jiwa dan merenungkan kekuasaan Allah, Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul penutup. Peristiwa itu ditandai dengan kehadiran Malaikat Jibril atas perintah Allah untuk menyampaikan wahyu.
Nabi Muhammad pulang dengan hati yang bergetar, gelisah, dan ketakutan. Beliau menemui Sayyidah Khadijah dan meminta untuk diselimuti hingga rasa cemasnya mereda. Setelah tenang, beliau menceritakan kejadian tersebut kepada Khadijah, yang kemudian mengantarkannya kepada Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah yang menganut agama Nasrani. Waraqah menegaskan bahwa apa yang dialami Nabi Muhammad adalah wahyu yang sama yang diberikan kepada Nabi Musa ‘alaihissalâm.
Waraqah menjelaskan bahwa setiap pembawa pesan seperti itu pasti akan dimusuhi. Namun, tidak lama setelah pertemuan tersebut, Waraqah meninggal dunia.
Wahyu Bukan Hasil Perenungan Nabi
Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad menunjukkan bahwa wahyu tersebut benar-benar berasal dari Allah, bukan hasil perenungan atau bisikan hati Nabi. Al-Buthi menyatakan bahwa fenomena wahyu adalah penerimaan dari luar diri Nabi Muhammad yang tidak ada hubungannya dengan kepribadiannya.
Keberanian Nabi Muhammad dalam menghadapi wahyu menunjukkan bahwa beliau tidak pernah mendambakan kerasulan dan tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menyerukan wahyu tersebut kepada umat manusia. Kejadian ini merupakan sesuatu yang baru dalam hidupnya dan terjadi secara tiba-tiba tanpa pernah diperkirakan sebelumnya.
Meskipun mengalami kegelisahan saat menerima wahyu, Allah memantapkan hati Nabi Muhammad sehingga ia yakin bahwa sosok yang berbicara kepadanya adalah Malaikat Jibril. Hal ini menunjukkan pemisahan antara kepribadian beliau sebelum dan setelah kenabian serta menegaskan bahwa tidak ada satu pun ajaran Islam yang merupakan hasil pemikirannya sendiri. Allahu a’lam.