- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kisah Nabi Ibrahim dan Pengorbanan Nabi Ismail

Google Search Widget

Sejarah mencatat perjalanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menghadapi ujian berat ketika harus mengurbankan putranya, Nabi Ismail ‘alaihis salam. Peristiwa ini terjadi setelah tragedi pembakaran Nabi Ibrahim oleh Raja Namrud dan pengikutnya. Sebagai bukti kenabian dan mukjizat, Allah menyelamatkannya dari api yang membakar dengan menjadikannya dingin.

Setelah peristiwa tersebut, Nabi Ibrahim memutuskan untuk berhijrah meninggalkan Raja Namrud dan kaumnya. Dalam perjalanan hijrah, ia menikah dengan Siti Hajar dan dikaruniai putra, Nabi Ismail ‘alaihis salam, yang kelak diangkat menjadi nabi.

Nabi Ibrahim dan keluarganya terus melanjutkan perjalanan hidup. Seiring bertambahnya usia Nabi Ismail, ia tumbuh menjadi anak yang dapat diandalkan. Suatu malam, Nabi Ibrahim bermimpi bahwa ia harus menyembelih putranya. Dalam berbagai pendapat, Nabi Ismail pada saat itu berusia antara tujuh hingga tiga belas tahun, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam Kitab Tafsir Al-Munir.

Menyikapi mimpinya, Nabi Ibrahim merasa bingung. Ia tidak langsung membenarkan atau mengingkari mimpinya. Setelah beberapa kali merenungkan dan memohon petunjuk kepada Allah, ia kembali mendapatkan mimpi yang sama pada malam kedua dan ketiga. Akhirnya, Nabi Ibrahim meyakini bahwa mimpinya adalah perintah yang harus dilaksanakan.

Setelah itu, Nabi Ibrahim menyampaikan mimpinya kepada Nabi Ismail. Dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى

Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Mendengar pernyataan ayahnya, Nabi Ismail menjawab dengan penuh ketegasan dan keikhlasan:

قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Dengan kesadaran akan perintah Allah, keduanya bersiap menjalani ujian berat ini. Dalam suasana penuh emosi, Nabi Ibrahim harus merelakan putranya untuk disembelih. Ketika tiba saatnya, Nabi Ibrahim membawa Nabi Ismail ke Mina dan membaringkannya. Dengan penuh keikhlasan, Nabi Ismail meminta ayahnya untuk mengikatnya agar tidak bergerak dan untuk menghindari darahnya mengenai pakaian ayahnya.

Setelah mendengarkan permintaan anaknya, Nabi Ibrahim dengan serba salah menyiapkan pisau untuk melaksanakan perintah Allah. Namun, ketika pisau diletakkan pada leher Nabi Ismail, keajaiban terjadi; pisau itu tidak melukai putranya. Meski berulang kali dicoba, pisau tetap tak memberi bekas.

Nabi Ismail kemudian meminta agar wajahnya dipalingkan agar ayahnya tidak merasa iba melihatnya. Dalam situasi yang sangat emosional ini, Allah menurunkan firman-Nya:

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Artinya, “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’” (Surat As-Saffat ayat 104).

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menunjukkan kesabaran dan ketaatan yang luar biasa dalam menghadapi ujian ini. Allah tidak menghendaki penyembelihan itu terjadi dan menggantinya dengan seekor kambing sebagai kurban. Kambing tersebut diangkat sebagai sembelihan yang agung karena merupakan kurban Habil yang diturunkan dari langit.

Kisah ini menjadi teladan bagi umat Islam bahwa keimanan dapat mengatasi segala bentuk keraguan dan kesedihan. Ketaatan kepada perintah Allah adalah hal yang paling mulia dan tidak ada kenikmatan yang lebih sempurna selain menjalankan semua kewajiban-Nya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?